PERBEDAAN ASWAJA DENGAN IKHWANUL
MUSLIMIN (IM), HIZBUT TAHRIR (HT), JAMA’AT TABLIG (JT), JAMA’AH ISLAMIYYAH (JI)
INDONESIA, AHMADIYYAH QADIYANIYYAH (AQ) , JAMA’AH ANSHARUT TAUHID (JAT), FRONT
PEMBELA ISLAM (FPI)
Oleh
1.
Ana Dian Diriyani (151120001701)
2.
Gema Dwita Sari (151120001702)
3.
Fatma Ayu Faradila (151120001748)
4.
Muhammad Taufiq (151120001737)
PROGRAM
STUDI AKUNTANSI
FAKULTAS
EKONOMI DAN BISNIS
UNIVERSITAS
ISLAM NAHDLATUL ULAMA’
(UNISNU)
JEPARA
2016
KATA
PENGANTAR
Puji
syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan karunia,
rahmat serta hidayahnya kepada kami. Sholawat serta salam tak lupa kami
haturkan kepada junjungan kita Nabi agung Muhammad SAW sehingga dapat menyelesaikan
makalah yang berjudul “Perbedaan Aswaja dengan Ikhwanul Muslimin (IM), Hizbut
Tahrir (HT), Jama’at Tablig (JT), Jama’ah Islamiyyah (JI) Indonesia, Ahmadiyyah
Qadiyaniyyah (AQ) , Jama’ah Ansharut Tauhid (JAT), Front Pembela Islam (FPI)’’
Dalam
pembuatan resume ini tentunya penulis tak luput dari kesalahan, untuk itu kami
mohon saran dan kritikannya untuk kami jadikan sebagai perbaikan dalam pembuatan
resume selanjutnya.
Jepara
16 Maret 2016
Penulis
BAB
I
PENDAHULUAN
Membahas Perbedaan Aswaja dengan aliran
Ikhwanul Muslimin (IM), Hizbut Tahrir (HT), Jama’at Tablig (JT), Jama’ah
Islamiyyah (JI) Indonesia, Ahmadiyyah Qadiyaniyyah (AQ), Jama’ah Ansharut
Tauhid (JAT), Front Pembela Islam (FPI) sangat penting karena .....
Aliran-aliran tersebut mempuyai pedoman
serta pemikiran mereka masing-masing dalam menentukanberbagai macam hukum yang
ada di muka bumi ini. Diantarnya aliran ikhwanul Muslimin, Hizbut Tahrir (HT),
Jama’at Tablig (JT), Jama;ah Islamiyyah (JI) Indonesia, Ahmadiyyah Qadiyaniyyah,
Jama’ah Ansharut Tauhid ( JAT), Front Pembela Islam (FPI).
Materi yang akan kita bahas :
1. Perbedaan
Aswaja dengan Ikhwanul Muslimin (IM),
2. Perbedaan
Aswaja dengan Hizbut Tahrir (HT)
3. Perbedaan
Aswaja dengan Jama’at Tablig (JT)
4. Perbedaan
Aswaja dengan Jama’ah Islamiyyah (JI) Indonesia
5. Perbedaan
Aswaja dengan Ahmadiyyah Qadiyaniyyah (AQ)
6. Perbedaan
Aswaja dengan Jama’ah Ansharut Tauhid (JAT)
7. Perbedaan
Aswaja dengan Front Pembela Islam (FPI)
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
IKHWANUL
MUSLIMIN (IM)
1. Pengertian dan Sejarah
Kemunculan
Ikhwanul Muslimin yang
dalam bahasa Indonesia berarti “Persaudaraan Muslim” merupakan organisasi yang
bergerak di bidang dakwah Islam di Mesir dan Dunia Arab. Dalam perkembangannya,
organisasi yang dipelopori oleh Hasan al-Banna ini melahirkan sejumlah
organisasi Islam lainnya, baik di Mesir maupun luar Mesir.
Para pendiri organisasi
ini antara lain : Hafidz Abdul Hamid, Ahmad Al-Misri, Fuad Ibrahim, Abdurrahman
Hasbullah, Ismail ‘Izz, dan Zaki Al Maghribi, selain Al-Banna sendiri. Mereka
berkumpul pada tahun 1928 di kota Islamiyah. Saat itu, Hasan Al-Banna bertugas
sebagai pengajar di Madrasah Ibtidaiyah (setingkat SD).
2. Ajaran dan keyakinan
Ikhwanul Muslimin
Abdul Mun’im al-Hafni
menyebutkan, pelopor Ikhwanul Muslimin, Hasan al-Banna, dianggap pemerintah
Mesir menyebarkan dakwah Islam sesuai yang dipahami, dinilai sebagai dakwah
bercorak salafi, tarekat Sunni, hakikat sufi, organisasi politik, organisasi
ilmiah dan pendidikan, badan usaha perekonomian, dan pemikiran sosialis.
Di awal pembentukan
jama’ah ini, al-Banna memperhatikan aspek pendidikan Islam (Tarbiyah Islamiyah)
dan amat menekankan pentingnya pendidikan tersebut. Tujuan dari pendidikan
Islam dimaksud adalah untuk membangun akhlak kuat dan akidah benar, sehingga mendorong para anggota jama’ah
melakukan perbuatan mulia. Tugas terpenting yang harus dilakukan oleh
masyarakat islam, menurut al-Banna, adalah mengikuti manhaj (metode) ilahi,
yakni Al-Qur’an. Manhaj tersebut memiliki kelebihan, yaitu mudah, terbatas,
jelas arah dan tujuannya, praktis dan realistis, serta tidak didasarkan pada
khayalan belaka. Di samping itu juga dapat memberikan solusi atas setiap
permasalahan secara praktis dan bukan hanya teori, dengan harapan nyata dan
sekedar impian.
Al-Banna telah menulis
sebuah buku berjudul Da’watuna fi Thaur
Jalid (Dakwah Islam Era Baru). Dalam buku tersebut, al-Banna antara lain
menjelaskan, “Di era modern ini, medan dakwah telah berkembang sehingga
mencakup semua dunia Islam. Tujuan dakwah Islam pun berubah dan lebih mengarah kepada kepemilikan kekuasaan
(politik). Sebab, kekuasaan inilah yang akan menjadi sarana untuk berdakwah.
Media untuk mewujudkan tujuan tersebut pun telah berubah, dimana dulu dakwah
hanya dilakukan dengan memberikan hikmah dan nasehat-nasehat, tetapi sekarang
dakwah dilakukan dengan jihad.
Prinsip dasar hukum
kita adalah memimpin dunia ini dengan orientasi menegakkan hukum Allah. Hal ini
dapat dilakukan dengan memilih seorang khalifah yang dianggap sebagai wakil
dari seluruh umat islam, yang dibantuoleh dewan penasihat dan dewan kabinet
pelaksana. Ketahuilah bahwa tidak ada titik temu antara sistem Islam dengan
sistem dictator. Sistem islam didasarkan pada azaz Syura (musyawarah), baiat
(pengambilan sumpah), dan pembatasan kekuasaan pemerintah. Sistem Islam juga
berbeda dengan sistem demokrasi, karena sistem demokrasi didasarkan pada
pendapat masyarakat yang disesuaikan dengan kepentingan mereka, sedangkan
sistem Islam didasarkan pada aturan -aturan yang dibuat oleh Dzat yang
kekuasaan-Nya berada di atas kekuatan semua manusia. Selain itu, hukum dan
kekuasaan dalam Islam tidaklah diwariskan. Ketahuilah bahwa syari’at Islam
mengharuskan adanya satu Negara, satu bangsa dan satu pemimpin.”
3. Kelompok-Kelompok
Ikhwanul Muslimin
Sebagai dampak dari pertumpahan darah tersebut, juga
sebagai dampak dari kitab Ma’alim fi al-Thariq yang ditulis oleh Sayyid Quthub,
Jama’ah Ikhwanul Muslimin pecah menjadi 4 kelompok, yaitu :
a. Sekelompok
orang yang ingin meneruskan apa yang telah dirintis oleh Hasan al-Banna sebelum
terjadinya konflik dengan pemerintah. Kelompok inilah yang sampai sekarang
dinamakan dengan Ikhwanul Muslimin.
b. Sekelompok
orang yang mengaku sebagai orang-orang salaf. Mereka berpendapat, dalam rangka
menghadapi masyarakat jahiliyah, kita tidak perlu mengingkarinya dengan tangan
(kekuatan) atau lisan, tetapi cukup dengan hati.
c. Jama’ah
al-Takfir wa al-Hijrah. Mereka mengharuskan semua anggotanya untuk meninggalkan
masyarakat Jahiliyah dan berhijrah ke suatu tempat sehingga mereka dapat
menyusun kekuatan disana. Setelah berhasil menyusun kekuatan, mereka akan
menghancurkan masyarakat jahiliyah yang mereka anggap sebagai orang-orang
kafir.
d. Jama’ah
al-Jihad yang berpendapat, perang melawan pemerintah kafir merupakan suatu
kewajiban dalam Islam. Mereka menganggap cara tersebut sebagai satu-satunya
cara untuk mendirikan Negara Islam.
Jama’ah Ikhwanul Muslimin yang masih ada sampai sekarang
memiliki semboyan,
“Dakwah Islamiyah harus
dilakukan dengan hikmah (pesan) dan nasihat yang baik,”.
Di Indonesia, Ikhwanul Muslimin hadir pada awalnya
melalui lembaga-lembaga dakwah kampus yang kemudian menjadi Gerakan Tarbiyah.
Kelompok ini kemudian melahirkan Partai
Keadilan Sejahtera (PKS). Keterkaitan partai ini dengan Ikhwanul Muslimin
diakui oleh Sekjen PKS Anis Matta. Berikut pernyataan Anis Matta :
Inspirasi-inspirasi
al-Ikhwanul Muslimin dalam diri partai keadilan sejahtera, kalau boleh
digarisbawahi disini, sesungguhnya memberikan kekuatan pada dua dimensi
sekaligus. Pertama, inspirasiideologis yang satu-satunya didasarkan pada
prinsip syumuliyat al-Islam (Universitas Islam), sesuatu yang bukan hanya
menjadi prinsip perjuangan Hasan al-Banna saja, tetapi juga pejuang-pejuang
yang lain. Kedua, inspirasi historis, semacam mencari model dan maket dari
sebentuk perjuangan islam di era setelah keruntuhan al-Khilafah al-Islamiyah
dan dominasi imperalisme barat atas negeri-negeri Muslim. Tetapi yang
mempertemukan dua inspirasi itu pada diri al-Banna dan al-Ikhwanul Muslimin,
adalah tokoh-tokoh yang lain menjadi pembaharu dalam lingkup pemikiran, Hasan
al-Bannaberhasil mengubah pembaharuan itu dari wacana menjadi gerakan. Dan
tidak berlebihan, bila inspirasi gerak itu juga yang secara terasa dapat
diselami dalam denyut Partai Keadilan Sejahtera.
Secara tegas, keterkaitan PKS dengan Ikhwanul Muslimin
dikatakan oleh pendiri partai ini, sekaligus mantan Dewan Syari’ah PKS Yusuf
Supendi. Dalam bukunya Replik Pengadilan Yusuf Supendi Menggugat
Elite PKS, ia menjelaskan, Ketua Majelis Syuro PKS memiliki kekuasaan
tinggi yang dikenal dengan istilah Muraqib ‘Am, yaitu Pemimpin Tertinggi
Jama’ah Ikhwanul Muslimin di Indonesia. Kekuasaan ini diamanatkandalam aturan
pertama, yang sangat rahasia, yang dinamakan Nizham Asasi (aturan dasar)
yang bersumber dari Nizham ‘Am (aturan umum) yang diterbitkan oleh Ikhwanul
Muslimin Pusat di Kairo Mesir. Dengan demikian, aturan yang berlaku di OKS
tidak boleh bertentangan dengan aturan Ikhwanul Muslimin Pusat di MEsir. Nizham
Asasi Ikhwanul Muslimin di Indonesia itu disahkan oleh Musyawarah Majelis Syura
PKS, di Jakarta, Selasa, 25 juli 2000.
B.
HIZBUT
TAHRIR (HT)
1.
Pengertian
dan Sejarah Kemunculan Hizbut Tahrir
Hizbut Tahrir adalah sebuah partai politik yang
berideologi Islam, bukan organisasi kerohanian (seperti tarekat), bukan pula
lembaga ilmiah ataupun lembaga akademis, dan juga bukan lembaga social. Hizbut
Tahrir menganut Islam sebagai ideology, dan politik sebagai aktivitasnya.
Hizbut Tahrir yang didirikan di Lebanon oleh Syekh Taqiyudin An-Nabhani ini
pertama kali masuk di Indonesia pada tahun 1972. Menurut Ismail Yusanto, Jubir
hizbut Tahrir Indonesia (HTI), cikal bakal organisasi ini berasal dari
Yordania.
Hizbut Tahrir bermaksud membangkitkan kembali umat Islam
dari kemerosotan yang amat parah, mmbebaskannya dari ide-ide, sistem
perundang-undangan dan hukum kufur, serta membebaskan dari dominasi
Negara-negara kafir dengan membangun daulah Islamiyah dan mengembalikan Islam
ke kejayaan masa lampau. Hizbut Tahrir bertujuan mengembangkan kehidupan Islami
dan mengembangkan dakwahIslamiyah kehidupan Islami dan mengembangkan dakwah
Islamiyah ke seluruh dunia. Dalam mencapai maksud dan tujuannya, HTI
mempercayai sistem kekhalifahan dengan seorang khalifah yang dibaiat oleh kaum
Muslimin dan harus ditaati.
Dalam mencapai maksud dan tujuannya, HTI mengemban dakwah
Islam dan mengubah kondisi masyarakat dari yang rusak menjadi ide-ide yang
Islami, mengubah perasaan rusak menjadi perasaan yang islami, yaitu perasaan
yang ridha terhadap apa yang diridhai Allah, marah dan benci terhadap apa yang
dimarahi oleh Allah. Perjuangan Hizbut Tahrir juga berusaha agar akidah Islam
menjadi dasar Negara. Seluruh kegiatan yang dilakukan oleh Hizbut Tahrir
bersifat politis dalam arti memperhatikan urusan-urusan masyarakat sesuai
dengan hukum dan memecahkannya secara syar’I (hukum islam)
Kegiatan politik ini terdiri dari pembinaan terhadap
tsaqafah (kebudayaan) Islam, membebaskan dari akidah yang rusak, pemikiran yang
salah, persepsi yang keliru, pandangan-pandangan dari kaum yang kufur.
Perjuangan politik juga meliputi penentangan terhadap kaum imperalis,
mengontrol dan mengganti terhadap penguasa yang berkhianat terhadap umat islam.
Seluruh kegiatan politik ini dilakukan tanpa menggunakan kekerasan, fisik dan
senjata seperti yang dicontohkan Rasulullah.
Metode yang
digunakan HTI adalah metode yang diemban oleh Rasulullah. HTI beranggapan
bahwa umat Islam sekarang hidup dalam Darul Kufur yang serupa denga kehidupan
di Mekkah (sebelum hijrah ke Madinah) pada zaman Nabi. Dalam melakukan
dakwahnya, HTI mempunyai beberapa tahapan : pertama, tahap pembinaan dan pengkaderan. Kedua, tahapan berinteraksi denganumat agar ikut memikul kegiatan
dakwahnya. Ketiga, tahap pengambilan
kekuasaan untuk menerapkan Islam secara Menyeluruh.
2.
Ideologi
Hizbut Tahrir
- Mengadopsi
Ideologi Mu’tazilah
Pada masa pemerintahan
Bani Umayah, lahir gerakan Revivalis yang dipelopori oeleh Ma’bad bin Khalid
al-Juhani, penggagas ideology Qadariyah, yang berpijak pada pengingkaran Qadha’
dan Qadar Allah. Ideologi ini menjadi embrio lahirnya sekte
Mu’tazilah.belakangan ini juga diikuti oleh Taqiyudin al-Nabhani, perintis
Hizbut Tahrir. Dalam bukunya, al-syakhsiyyat al-Islamiyah, rujukan primer
Hizbut Tahrir, Taqiyyudin al-Nabhani berkata :
Pernyataan al-Nabhani
di atas memberikan dua kesimpulan, pertama, perbuatan ikhtiyari manusia tidak
ada kaitannya dengan ketentuan Qadha’ Allah, dan yang kedua, hidayah dan
kesesatan itu adalah perbuatan manusia sendiri dan bukan dari Allah. Demikian
ini jelas bertentangan dengan Al-Qur’an, Sunnah dan akal sehat.
Dalam sekian banyak
ayat berikut ini :
95
Beberapa ayat diatas
menegaskan bahwa segala sesuatu itu diciptakan oleh Allah. Kata “segala
sesuatu” dalam ayat tersebut mencakup segala apa yang ada di dunia ini seperti
benda, sifat-sifat benda seperti gerakan dan diamnya manusia, serta perbuatan
yang disengaja maupun yang terpaksa. Dalam realita yang ada, perbuatan
ikhtiyari manusia lebih banyak daripada perbuatan non ikhtiyari atau yang
terpaksa. Seandainya perbuatan ikhtiyari manusia itu adalah ciptaan manusia
sendiri, tentu saja perbuatan yang diciptakan oleh manusia akan lebih banyak
daripada perbuatan yang diciptakan oleh Allah.
Ayat-ayat diatas
menegaskan bahwa hidayah dan kesesatan itu berasal dari Allah, bukan dari
perbuatan manusia. Pernyataan al-Nabhanin di atas juga bertentangan dengan ayat
berikut ini :
97
Ayat ini menegaskan bahwa perbuatan
hati dan perbuatan lahiriah manusia termasuk perbuatan Allah. Hal ini
bertentangan dengan pernyataan Hizbut Tahrir yang berpandangan bahwa hidayah
dan kesesatan adalah perbuatan manusia, dan bukan dari Allah. Demikianlah
sebagian ayat-ayat al-Qur’an yang menunjukkan bahwa perbuatan ikhtiyari manusia
serta hidayah dan kesesatan merupakan perbuatan Allah dan terjadi atas dasar
Qadha’ dan Qadar Allah
Dalam
kedua ayat diatas, Allah menyebutkan shalat dan ibadah yang merupakan perbuatan
ikhtiari manusia, lalu menyebutkan hidup dan mati yang bukan perbuatan ikhtiari
manusia, kemudian Allah menjadikan semuanya sebagai makhluk Allah tiada
sekutu-Nya. Ayat tersebut pada dasarnya menyampaikan pesan begini. “Katakanlah
wahai Muhammad,”sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidup dan matiku adalah
makhluk Allah yang tiada sekutu bagi-Nya. “NamunHizbut Tahrir menyelisih ayat
tersebut dan mengikuti Mu’tazilah dengan mengatakan bahwa semua perbuatan
ikhtiari manusia adalah ciptaan manusia sendiri dan dia yang memilikinya.
Pendekatan Ta’wil dan
Ulama Salaf
1) Ibn
Abbas
Terdapat banyak riwayat dari Ibn
Abbas, bahwa ia melakukan ta’wil terhadap ayat-ayat mutasyabihat, antara lain
adalah, Kursi [QS. 2: 255] di-ta’wil dengan ilmunya Allah, datangnya Tuhan [QS.
89: 22] di-ta’wil dengan penglihatan Allah, aydin 9beberapa tangan) [QS. 51:
47] di-ta’wil dengan Allah yang menunjukkan penduduk langit dan bumi, wajah
Allah [QS. 55: 27] di-ta’wil dengan wujud dan Dzat Allah, dan saq (betis) [QS.
68: 42] di-ta’wil dengan kesusahan yang sangat berat.
2) Mujahid
dan al-Suddi
Al-Imam Mujahid dan al-Suddi, dua
pakar tafsir dari generasi tabi’in juga men-ta’wil lafal janb [QS. 39: 56]
dengan perintah Allah.
3) Sufyan
al-Tsauri dan Ibn al-Thabiri
Al-Imam Ibn Jarir al-Thabiri
menafsirkan istiwa’ [QS. 2: 29] dengan memiliki dan menguasai, buka dalam
artian bergerak dan berpindah. Sedangkan al-Tsauri men-ta’wilkan-nya dengan
berkehendak menciptakan langit.
4) Malik
bin Anas
Al-Imam Malik bin Anas, juga
men-ta'wil turunnya Tuhan dalam hadits shahih pada waktu tengah malam dengan
turunnya perintah-Nya, bukan Tuhan dalam artian bergerak dan berpindah dari
satu tempat ke tempat lain.
5) Ahmad
bin Hanbal
Al-Imam Ahmad bin Hanbal, pendiri
madzhab Hanbali, melakukan ta’wil terhadap beberapa teks yang mutasyabihat,
antara lain ayat tentang datangnya tuhan [QS. 89: 22] di-ta’wil dengan
datangnya pahala dari Tuhan, bukan datang dalam arti bergerak dan berpindah.
6) Al-Hasan
al-Bashri
Al-Imam al-Hasan al-Bashri, juga
melakukan ta’wil terhadap teks tentang datangnya Tuhan [QS. 89: 22] dengan
datangnya perintah dan kepastian Tuhan.
7) Al-Bukhari
Al-Imam al-Bukhari, pengarang
Shahih al-Bukhari, juga melakukan ta’wil terhadap bebrapa teks yang
mutasyabihat, antara lain teks tentang tertawanya Allah dalam sebuah hadits
dita’wilnya dengan rahmat Allah, dan wajah Allah [QS.28: 88] dita’wilnya dengan
kerajaan Allah dan amal yang dilakukan semata-mata karena mencari ridha Allah.
Data-data tersebut menujukkan bahwa
ta’wil yang dilakukan oleh Ahlussunnah Wal-Jamaah merupakan pemahaman terhadap
teks-teks mutasyabihat sesuai dengan pemahaman ulama salaf yang salih.
b.
Qadar
dan Ilmu Allah
Taqiyyuddin al-Nabhani berkata:
قَدْ وَرَدَ
اْلإِيْمَانُ بِالْقَدَرِ فِيْ حَدِيْثِ جِبْرِيْلَ فِيْ بَعْضِ الرِّوَايَاتِ،
فَقَدْ جَاءَ قَالَ: وَتُؤْمِنَ بِالْقَدَرِ خَيْرِهِ وَشَرِّهِ، إِلاَّ أَنَّهُ
خَبَرُ آحَادٍ، عِلاَوَةً عَلىَ أَنَّ الْمُرَادَ بِالْقَدَرِ هُنَا عِلْمُ اللهِ،
وَلَيْسَ الْقَضَاءَ وَالْقَدَرَ الَّذِيْ هُوَ مَوْضِعُ خِلاَفٍ فِيْ فَهْمِهِ.
Telah datang keimanan
dengan qadar dalam hadits Jibril menurut sebagian riwayat, di mana Nabi saw
bersabda: "Dan kamu percaya dengan qadar, baik dan buruknya." Hanya
saja hadits ini tergolong hadits ahad (persumtif), di samping yang dimaksud
dengan qadar di sini adalah ilmu Allah, dan bukan qadha' dan qadar yang menjadi
fokus perselisihan dalam memahaminya.
Pernyataan al-Nabhani di atas
memberikan kesimpulan bahwa. Pertama, keimanan dengan qadar Allah hanya
terdapat dalam hadits Jibril menurut sebagian riwayat.Kedua, hadits
tentang qadar tergolong hadits ahad yang tidak meyakinkan. Ketiga, yang
dimaksud dengan qadar dalam hadits Jibril tersebut adalah pengetahuan atau ilmu
Allah, dan bukan qadha' dan qadar yang menjadi fokus kajian kaum
Muslimin.
Sudah barang tentu pernyataan
al-Nabhani tersebut tidak benar. Pertama,
asumsi bahwa keimanan terhadap qadar Allah hanya terdapat dalam hadits Jibril
melalui sebagian riwayat adalah tidak benar. Keimanan dengan qadar Allah
disamping terdapat dalam hadits Jibril, juga dijelaskan dalam sekian banyak
ayat-ayat al-Qur'an sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya. Sementara hadits
lain yang juga menjelaskan keimanan terhadap qadar juga sangat banyak.
Selain empat hadits di atas,
terdapat pula hadits-hadits lain di antaranya adalah:
عَنْ أَبِي
الأَسْوَدِ الدِّيلِيِّ قَالَ، قَالَ لِي عِمْرَانُ بْنُ الْحُصَيْنِ: أَرَأَيْتَ
مَا يَعْمَلُ النَّاسُ الْيَوْمَ وَيَكْدَحُونَ فِيهِ أَشَيْءٌ قُضِيَ عَلَيْهِمْ
وَمَضَى عَلَيْهِمْ مِنْ قَدَرِ مَا سَبَقَ أَوْ فِيمَا يُسْتَقْبَلُونَ بِهِ
مِمَّا أَتَاهُمْ بِهِ نَبِيُّهُمْ وَثَبَتَتْ الْحُجَّةُ عَلَيْهِمْ، فَقُلْتُ:
بَلْ شَيْءٌ قُضِيَ عَلَيْهِمْ وَمَضَى عَلَيْهِمْ، قَالَ فَقَالَ: أَفَلاَ
يَكُونُ ظُلْمًا، قَالَ: فَفَزِعْتُ مِنْ ذَلِكَ فَزَعًا شَدِيدًا، وَقُلْتُ:
كُلُّ شَيْءٍ خَلْقُ اللهِ وَمِلْكُ يَدِهِ، فَلاَ يُسْأَلُ عَمَّا يَفْعَلُ،
وَهُمْ يُسْأَلُونَ، فَقَالَ لِي: يَرْحَمُكَ اللهُ إِنِّي لَمْ أُرِدْ بِمَا
سَأَلْتُكَ إِلاَّ ِلأَحْزِرَ عَقْلَكَ، إِنَّ رَجُلَيْنِ مِنْ مُزَيْنَةَ أَتَيَا
رَسُولَ اللهِ J فَقَالاَ: يَا رَسُولَ اللهِ أَرَأَيْتَ مَا يَعْمَلُ النَّاسُ
الْيَوْمَ وَيَكْدَحُونَ فِيهِ أَشَيْءٌ قُضِيَ عَلَيْهِمْ وَمَضَى فِيهِمْ مِنْ
قَدَرٍ قَدْ سَبَقَ أَوْ فِيمَا يُسْتَقْبَلُونَ بِهِ مِمَّا أَتَاهُمْ بِهِ
نَبِيُّهُمْ وَثَبَتَتْ الْحُجَّةُ عَلَيْهِمْ، فَقَالَ: لاَ بَلْ شَيْءٌ قُضِيَ
عَلَيْهِمْ وَمَضَى فِيهِمْ، وَتَصْدِيقُ ذَلِكَ فِي كِتَابِ اللهِ عَزَّ وَجَلَّ
(وَنَفْسٍ وَمَا سَوَّاهَا فَأَلْهَمَهَا فُجُورَهَا وَتَقْوَاهَا).
Abu al-Aswad al-Dili berkata: "Imran bin
al-Hushain berkata kepadaku, "Bagaimana menurutmu, apakah sesuatu yang
dikerjakan dan diusahakan oleh manusia sekarang merupakan sesuatu yang telah
diputuskan sebelumnya oleh Allah dan sesuai dengan ketentuan yang telah berlalu
bagi mereka, atau juga apa yang akan mereka hadapi dari hal-hal yang telah
dibawa oleh nabi mereka dan hujjah telah berlaku pada mereka?" Aku
menjawab: "Tentu, sesuatu yang telah diputuskan dan ditetapkan sebelumnya
pada mereka." Abu al-Aswad berkata; "Imran bertanya lagi:
"Apakah hal itu bukan kezaliman dari Allah?"
Abu al-Aswad berkata: "Aku sangat terkejut
dengan pernyataan Imran. Lalu aku berkata: "Segala sesuatu adalah ciptaan
Allah dan milik-Nya. Jadi, Allah tidak akan ditanya atas perbuatan-Nya,
melainkan manusia yang akan ditanya atas perbuatan mereka.Lalu Imran berkata
kepadaku: "Semoga Allah mengasihimu. Sesungguhnya aku bertanya hanya
karena ingin menguji kemampuan akalmu. Sesungguhnya dua orang laki-laki dari
suku Muzainah mendatangi Rasulullah saw dan bertanya: "Wahai Rasulullah,
apakah apa yang dikerjakan dan diusahakan oleh manusia sekarang ini merupakan
sesuatu yang telah diputuskan dan ketentuan yang telah berlalu bagi mereka,
atau tentang apa yang akan mereka hadapi berupa sesuatu yang dibawa oleh nabi
mereka dan hujjah telah berlaku atas mereka?" Nabi saw menjawab:
"Tentu, sesuatu yang telah diputuskan dan ketetapan yang telah berlalu
bagi mereka." Pembenaran hal tersebut ada dalam firman Allah SWT:
"Maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan
ketakwaannya."
Sedangkanasumsi al-Nabhani bahwa
hadits tentang keimanan terhadap qadha' dan qadar Allah termasuk hadits ahad
adalah tidak benar. Al-Nabhani juga berasumsi bahwa makna qadar dalam hadits
Jibril, "Kamu beriman terhadap qadar Allah, baik dan buruknya", adalah
pengetahuan dan ilmu Allah. Sementara para ulama Ahlussunnah Wal-Jama'ah
mengartikan qadar dalam hadits tersebut dengan al-maqdur, yaitu sesuatu yang
telah ditetapkan oleh Allah, bukan ilmu Allah.
Dengan demikian asumsi al-Nabhani
yang menganggap bahwa qadar adalah pengetahuan dan ilmu Allah jelas bertentangan
dengan hadist shahih diatas.
c. Kema’shuman
Para Nabi
Menurut Ahlussunnah Wal-Jama'ah, setiap
Muslim harus meyakini bahwa para nabi itu adalah orang yang ma’shum (terjaga
dari perbuatan dosa), baik sesudah mereka diangkat menjadi nabi atau
sebelumnya. Namun keyakinan ini berbeda dengan keyakinan Hizbut Tahrir. Dalam
hal ini, al-Nabhani berkata:
إِلاَّ أَنَّ
هَذِهِ الْعِصْمَةَ لِلأَنْبِيَاءِ وَالرُّسُلِ إِنَّمَا تَكُوْنُ بَعْدَ أَنْ
يُصْبِحَ نَبِيًّا أَوْ رَسُوْلاً بِالْوَحْيِ إِلَيْهِ. أَمَّا قَبْلَ
النُّبُوَّةِ وَالرِّسَالَةِ فَإِنَّهُ يَجُوْزُ عَلَيْهِمْ مَا يَجُوْزُ عَلىَ
سَائِرِ الْبَشَرِ، ِلأَنَّ الْعِصْمَةَ هِيَ لِلنُّبُوَّةِ وَالرِّسَالَةِ.
Hanya saja keterjagaan para nabi dan rasul itu
terjadi sesudah mereka menjadi nabi atau rasul dengan memperoleh wahyu. Adapun
sebelum menjadi nabi dan rasul, maka sesungguhnya bagi mereka boleh terjadi
perbuatan yang terjadi pada manusia biasa, karena keterjagaan itu hanya bagi
kenabian dan kerasulan.
Sudah
barang tentu pernyataan al-Nabhani di atas tidak benar. Para ulama Ahlussunnah
Wal-Jama'ah telah berpendapat bahwa para nabi itu harus memiliki sifat shidq
(jujur), amanat (dipercaya) dan fathanah (cerdas).
Oleh
karena itu, Allah SWT tidak akan memilih sebagai nabi atau rasul, kecuali terhadap
orang yang selamat dari. Dengan berpijak terhadap pendapat al-Nabhani, bahwa
para nabi boleh jadi melakukan perbuatan dosa apa saja sebelum menjadi nabi
sebagaimana layaknya manusia biasa, Hizbut Tahrir berarti berpandangan bahwa
derajat kenabian yang agung boleh disandang oleh orang yang pada masa lalunya
sebagai pencuri, perampok, homo sex, pembohong, penipu, pecandu narkoba,
pemabuk dan pernah melakukan kehinaan-kehinaan lainnya.
d.
Melecehkan
Mayoritas Kaum Muslimin
Syaikh Taqiyyuddin al-Nabhani
berkata:
وَالْحَقِيْقَةُ
أَنَّ رَأْيَ أَهْلِ السُّنَّةِ وَرَأْيَ الْجَبَرِيَّةِ وَاحِدٌ، فَهُمْ
جَبَرِيُّوْنَ. وَقَدْ أَخْفَقُوْا كُلَّ اْلإِخْفَاقِ فِيْ مَسْأَلَةِ الْكَسْبِ،
فَلاَ هِيَ جَارِيَةٌ عَلىَ طَرِيْقِ الْعَقْلِ، إِذْ لَيْسَ عَلَيْهَا أَيُّ
بُرْهَانٍ عَقْلِيٍّ، وَلاَ عَلىَ طَرِيْقِ النَّقْلِ، إِذْ لَيْسَ عَلَيْهَا
أَيُّ دَلِيْلٍ مِنَ النُّصُوْصِ الشَّرْعِيَّةِ، وَإِنَّمَا هِيَ مُحَاوَلَةٌ
مُخْفِقَةٌ لِلتَّوْفِيْقِ بَيْنَ رَأْيِ الْمُعْتَزِلَةِ وَرَأْيِ
الْجَبَرِيَّةِ.
“Pada
dasarnya pendapat Ahlussunnah dan pendapat Jabariyah itu sama. Jadi Ahlussunnah
itu Jabariyah. Mereka telah gagal segagal-gagalnya dalam masalah kasb
(perbuatan makhluk), sehingga masalah tersebut tidak mengikuti pendekatan
rasio, karena tidak didasarkan oleh argument rasional sama sekali, dan tidak
pula mengikuti pendekatan naqli karena tidak didasarkan atas dalil dari
teks-teks syar'i sama sekali. Masalah kasb tersebut hanyalah usaha yang gagal
untuk menggabungkan antara pendapat Mu'tazilah dan pendapat Jabariyah.”
Dalam
bagian lain, al-Nabhani juga mengatakan:
الإِجْبَارُ هُوَ
رَأْيُ الْجَبَرِيَّةِ وَأَهْلِ السُّنَّةِ مَعَ اخْتِلاَفٍ بَيْنَهُمَا فِي
التَّعَابِيْرِ وَاْلاِحْتِيَالِ عَلىَ اْلأَلْفَاظِ، وَاسْتَقَرَّ
الْمُسْلِمُوْنَ عَلىَ هَذَا الرَّأْيِ وَرَأْيِ الْمُعْتَزِلَةِ، وَحُوِّلُوْا
عَنْ رَأْيِ الْقُرْآنِ، وَرَأْيِ الْحَدِيْثِ، وَمَا كَانَ يَفْهَمُهُ
الصَّحَابَةُ مِنْهُمَا.
“Ijbar
(keterpaksaan) adalah pendapat Jabariyah dan Ahlussunnah, hanya antara keduanya
ada perbedaan dalam ungkapan dan memanipulasi kata-kata. Kaum Muslimin
konsisten dengan pendapat ijbar ini dan pendapat Mu'tazilah. Mereka telah
dipalingkan dari pendapat al-Qur'an, hadits dan pemahaman shahabat dari
al-Qur'an dan hadits.”
Pernyataan
al-Nabhani di atas mengantarkan pada beberapa kesimpulan. Pertama, pendapat Ahlussunnah
Wal Jama'ah dan Jabariyah itu pada dasarnya sama dalam masalah perbuatan
manusia. Perbedaan antara keduanya hanya dalam ungkapan dan dalam manipulasi
kata-kata.Kedua, Ahlussunnah Wal Jama'ah telah gagal dalam mengatasi problem
perbuatan manusia melalui pendekatan teori kasb,
sehingga terjebak dalam pendapat yang tidak didukung oleh dalil rasional maupun
dalil naqli.Ketiga, kaum Muslimin sejak sekian lamanya telah berpaling dari
al-Qur'an, hadits dan ajaran sahabat. Dan keempat,
pernyataan tersebut memberikan kesan yang cukup kuat bahwa al-Nabhani dan
Hizbut Tahrir telah keluar dari golongan Ahlussunnah Wal-Jama'ah dan mayoritas
kaum Muslimin.
Sudah
barang tentu pernyataan al-Nabhani di atas termasuk kesalahan fatal dalam soal
ideologi dan pelecehan terhadap para ulama kaum Muslimin. Pertama, asumsi al-Nabhani bahwa pendapat Ahlussunnah Wal-Jama'ah sama
dengan pendapat Jabariyah dalam masalah perbuatan manusia adalah tidak benar.
Pendapat Ahlussunnah Wal Jama'ah
berbeda dengan pendapat Jabariyah dalam menanggapi perbuatan menciptakan perbuatannya, dan Allah tidak
berbuat apa-apa terkait dengan perbuatan hewan yang ada.
Kedua, asumsi
al-Nabhani bahwa seluruh kaum Muslimin sejak sekian lama telah berpaling dari
ajaran al-Qur'an, hadits dan pendapat para sahabat juga tidak benar dan
bertentangan dengan dalil-dalil al-Qur'an dan hadits allah melindungi
kaum muslimin dari bersepakat dan bersekongkol dalam kebatilan
Menurut
al-Imam Fakhruddin al-Razi, ayat di atas memberikan pesan hukum bahwa keluar
dari jalan orang-orang mukmin adalah haram. Setiap Muslim harus mengikuti jalan
orang-orang mukmin. Sementara al-Nabhani bukan hanya keluar dari jalan
orang-orang mukmin, justru ia melecehkan mereka dan menganggap bahwa orang-orang
mukmin telah tersesat jalan dari ajaran al-Qur'an, hadits dan ajaran sahabat. Dalam
hadits shahih, Rasulullah saw bersabda:
عَنِ ابْنِ
عُمَرَ قَالَ، قَالَ رَسُوْلُ اللهِ J: إِنَّ اللهَ لاَ يَجْمَعُ أُمَّتِيْ عَلَى
ضَلاَلَةٍ، وَيَدُ اللهِ مَعَ الْجَمَاعَةِ، وَمَنْ شَذَّ شَذَّ إِلىَ النَّارِ.
Ibn Umar berkata, Rasulullah saw bersabda:
"Sesungguhnya Allah tidak akan mengumpulkan umatku, atas kesesatan.
Pertolongan Allah selalu bersama jama'ah. Dan barangsiapa yang mengucilkan diri
dari jama'ah, maka ia mengucilkan dirinya ke neraka."
Hadits
di atas menunjukkan pada beberapa pesan. Pertama,
umat Islam tidak akan bersepakat pada kesesatan dan kekeliruan dalam menjalani
kehidupan beragama. Kedua, Allah SWT
akan menolong orang-orang yang mengikuti jalan mayoritas kaum Muslimin. Dan ketiga, orang yang mengucilkan dirinya (syudzudz) dari mayoritas kaum Muslimin,
berarti telah mengucilkan dirinya ke neraka.
Sementara
Taqiyyuddin al-Nabhani dan Hizbut Tahrir
mengambil sikap sebaliknya. Pertama,
Hizbut Tahrir berpendapat bahwa seluruh kaum Muslimin telah berpaling dari
ajaran al-Qur'an, hadits dan pendapat sahabat. Kedua, Hizbut Tahrir tidak menjaga kebersamaan dengan cara
mengikuti mayoritas kaum Muslimin. Dan ketiga,
Hizbut Tahrir mengucilkan dirinya dari mayoritas kaum Muslimin. Dan ini menjadi
bukti yang sangat kuat, bahwa Hizbut Tahrir telah keluar dari Ahlussunnah Wal Jama'ah.
e.
Pengingkaran
Siksa Kubur
Di
antara keyakinan mendasar setiap Muslim adalah menyakini adanya siksa kubur.
Hal ini seperti ditegaskan oleh al-Imam Abu Ja'far al-Thahawi dalam al-'Aqidah al-Thahawiyyah berikut ini:
وَنُؤْمِنُ
بِمَلَكِ الْمَوْتِ الْمُوَكَّلِ بِقَبْضِ أَرْوَاحِ الْعَالَمِيْنَ، وَبِعَذَابِ
الْقَبْرِ لِمَنْ كَانَ لَهُ أَهْلاً.
“Kami
beriman kepada Malaikat maut yang diserahi mencabut roh semesta alam, dan
beriman kepada siksa kubur bagi orang yang berhak menerimanya.”
Berdasarkan
keyakinan ini, RasulullahSAW menganjurkan agar umatnya selalu memohon kepada
Allah SWT agar diselamatkan dari siksa kubur. Namun tidak demikian halnya
dengan Hizbut Tahrir yang mengingkari adanya siksa kubur, mengingkari kebolehan
tawassul dengan para nabi dan orang, salih serta peringatan maulid Nabi SAW.
Pengingkaran Hizbut Tahrir terhadap adanya siksa kubur juga dijelaskan dalam
buku al-Dausiyyah, kumpulan
fatwa-fatwa Hizbut Tahrir ketika menjelaskan hadits yang menyebutkan tentang
siksa kubur. Menurut buku tersebut, meyakini siksa kubur yang terdapat dalam
hadits tersebut adalah haram, karena haditsnya berupa hadits ahad, akan tetapi
boleh membenarkannya.Bahkan salah seorang tokoh Hizbut Tahrir, yaitu Syaikh
Umar Bakri pernah mengatakan:"Aku
mendorong kalian untuk mempercayai adanya siksa kubur dan Imam Mahdi, namun
barang siapa yang beriman kepada hal tersebut, maka ia berdosa.".
Sudah
barang tentu pengingkaran Hizbut Tahrir terhadap adanya siksa kubur karena
alasan haditsnya termasuk hadits ahad dan bukan mutawatir, adalah tidak benar.
Karena disamping adanya siksa kubur merupakan keyakinan kaum Muslimin sejak
generasi salaf, juga hadits-hadits yang menerangkan adanya siksa kubur sampai
pada tingkat mutawatir, dan bukan
hadits ahad sebagaimana asumsi Hizbut
Tahrir.Dalam konteks ini al-Imam Hafizh al-Baihaqi berkata:
وَاْلأَخْبَارُ
فِيْ عَذَابِ الْقَبْرِ كَثِيْرَةٌ، وَقَدْ أَفْرَدْنَا لَهَا كِتَاباً
مُشْتَمِلاً عَلىَ مَا وَرَدَ فِيْهاَ مِنَ الْكِتَابِ وَالسُّنَّةِ وَاْلآثَارِ،
وَقَدِ اسْتَعَاذَ مِنْهُ رَسُوْلُ اللهِ J، وَأَمَرَ أُمَّتَهُ
بِاْلاِسْتِعَاذَةِ مِنْهُ ... قَالَ الشَّافِعِيُّ : إِنَّ عَذَابَ الْقَبْرِ
حَقٌّ.
Hadits-hadits mengenai adanya siksa kubur banyak
sekali. Kami telah menyendirikannya dalam satu kitab yang memuat dalil-dalil
dari al-Qur'an, Sunnah dan atsar tentang siksa kubur. Rasulullah saw telah
memohon perlindungan kepada Allah dari siksa kubur dan memerintahkan umatnya
agar memohon perlindungan darinya... Al-Imam al-Syafi'i
berkata:"Sesungguhnya siksa kubur itu benar."
f.
Mengkafirkan Kaum Muslimin
Islam
mengajarkan untuk selalu bersikap mederat, netral dan tidak berlebih-lebihan dalam menyikapi suatu
persoalan. Sikap seperti ini akan mengantaarkan sesorang untuk bisa bersikap
bijak, adil, berimbang dan tidak
memihak. Dengan suatu permasalahan yang
berkaitan dengn agama sekalipun kita tidak diajarkan untuk bersikap etkten
karena sikapp yang seperti itu akan menyebabkan seseorang salah dalam mengambil keputusan yang faatal serta
merugikan diri sendiri. Nabi SAW bersabda:
Ibn
Abbas berkata : “ Rasulullah SAW bersabda: “ Jauhilah sikap ektern
(berlebih-lebihan) dalam agama, karaena sesungguhnya yang mencelakakan
orang-orang sebelum kamu adalah sikap ektrem dalam beragama.”
Tegaknya
khilafah Islamiyah, sebagai simbol pemersatu umat Islam dan lambang kejayaan
kaum Muslimin pada masa silam, memang diwajibkan dalm agama apabila kita mampu
melakukannya. Namun berlebih-lebihan dan terlalu bersemangat dalam menyikapi
khilfah, juga kurang baik dan dapaat menjerumuskan kita pada sikap yan gkeliru.
Tidak sedikit dikap ektrem seseorang justru menjerumuskannya kedalam jurang
kesalahan yang sangat fatal. Seperti yang terjadi pada Taqiyyudin al-Naabhani
dalam pernyataanya berikut ini:
C.
JAMA’AT
TABLIGH (JT)
1. Pengertian
dan Sejarah Kemunculan
Jama’ah
tablig didirikan di India oleh Syekh Muhammad Ilyas (1303-1363 H) dn anaknya,
Syekh Muhammad Ilyas al-kandalawi. S yekh Muhammad Ilyas talh menulis kitab
yang berjudul Malfudhat Ilyas, sedangkan Syekh Muhammad Yusuf menulis kitab
hayat al-Shahabah. Jama’ah ini memilki cabagng diseluruh penjuru dunia.
2. Dasar
Pemikiran dan Metode JT
Dasar
pemikiran mereka adalh menyampaikan
dakwah islamiyah ke semua orang, melakukan komunikasi dengan seluruh
masyarakat, serta menadakan perjalanan
ke negara-negara islam nutuk berdakwah. Selain itu, menyampaikan dakwah
islamiyah sesuai dengan ajaran Rasulullah SAW dan sahabatnya dengan tujuan menyebarkan agama islam dengan cara bertatap
muka langsung dengan masyarakat serta berbicara dengan kalangn gasrot dengan
bijaksana, lemah lembut dan penuh harap, dan memberikan dorongan kepada mereka
untuk meninggalkan kenikmatan-kenikmtn duniawi dan kesenangan-kesenangan jasmani guna memperoleh
kenikmatan iman. Sedangkan metode yang ditempuh para Jama’ah Tablig adalah
berkelana dari negara satu kenegara lain, tanpa ada maksud tertentu kecuali hanya
untuk menyebarkan ajaran islamiyah dengan cara berdakwah baik itu ilakukan
secara terang-terangan maupun sembunyi-sembunyi. Menurut jama’ah ini ada 4 tingkatan dalam
berdakwah, yaitu : ulama, wujaha’, qudama’(mereka yang
kelua untuk berdakwah) dan ‘amatunnas (masyarakat umum). Dakwah yang disampaikan
ajaran ini adalah mengenai fadha’il (perbuatan-perbuatan baik).
Diantara
yang diajarkan adalah memeplajari 10 surat terakhir dari Al-quran, dan
adab-adab (sopan santun) yang besifat umum, seperti adab makan, minum, tidur,
buang air (besar-kecil), serta perbuatan-perbuatan sunnah lainnya.
Dalam
hal ibadah mereka membiasakan untuk membaca satu juz dari Al-quran dalam
sehari, melakukn shalat wajib n sunnah, qiymul lail berdzikir siang dan
malam. Jama’h Tabig mengenal 3
pengabian, yakni pengabdian kepada diri sendiri, jama’ah dan masyrakat atau
kaum muslimin pada umumnya. Mengenai jihad jama’ah ini berpendapat, “ Allah SWT telah
menjadikan jihad sebagai suatu kewajiban , seperti kewajiban-kewajiban
lainnya yang memiliki syarat tertentu. Diatara syarat-syarat terebut adalah
adanya seorang imam ynng bertugas memimpin kaum muslimin dalam melakukan jihad.
Jihad ini dibag menjadi 2 yaitu yaitu jihad difa’i dan jihad ibtida’i. Jihad
difai adalah jihad yang dilakukan oleh
seorang muslim untuk membela jiwa dan hartanya dari bahaya yang mengancam sampai bahaya itu hilang. Sedangkan jihad
ibtida’i merupakan jihad yang harus dilakukan dengan adanya seorang imam.
Menrut mereka, tidak ada jihad dan khilafah kecuali adanya iman dan amal
shaleh.
Para
da’i jama’ah Tablig menanamkan aktivitas mendidik umat dengan Al-woran dan
Hadist dengan sebutan tadrib wa tarbiyyah (pendidikan dan pelatihan) an
tashfiyyah wa tarbiyyah ( pensucian dan pendidikan). Mereka mengatakan, setiap
Muslim dituntut untuk menyampaikan apa yang mereka ketahui mengenai islam
meskipun sedikit, dan sekalipun dian bukan temasuk orang yang berilmu. Karena
sebenarnya dia berdakwah mengenai hal yang diketahuinya, buka hal yang tidak
diketahuinya, selain itu, amar ma’ruf nahi munkar adalah wajii bagi setiap
Muslim.
D.
JAMA’AH
ISLAMIYAH (JI) INDONESIA
1. Pengertian
dan Ssejarah Kemunculan
Organisasi
Jama’ah Islamiyah (JI) Indonesia terkait erat dengan aktivitas pejuang muslim
Indonesia, juga Malaysia, yang pernah ikut serta membela kepentingan umat islam
dalam peperangan di afganistan melawan rezim Komunis Uni Soviet, pada awal
tahun 80-an.Selain itu, berdirinya JI juga terkait erat dengan apa yang disebut
dengan Negara Islam Indonesia (NII).
Organisasi JI sisirikan oleh beberapa aktivis NII, saeperti ustad Abdul Khalim
(dikenal dengan nama Ustad Abdullah Sungkar, yang juga pendiri pesantren
Al-Mukmin, Ngruki, Surakarta). Kala itu Abdul Halim adalah aktivis NII, yag
ikut bergabng dengan kekuatan Mujahidin Afganistan berjuang melawan rezim
komunis Uni soviet. Penulis buku membongkar Jamaah Islamiyah, pengakuan Mantan
anggota JI, naasir Abbas menyatakan, bisa dikatakan bahwa JI adalah pecahan
dari NII. Persisnya, JI didirikan pada januari 1993 di Torkham, Afganistan.
2. Dasar
Pemikiran dan Metode JI
Organisasi
JI termsuk salh sastu gerkan Islam
radikal yang menganut prinsipjihad dijalan Allah SWT dalam segala aspek
dan sendi kehidupan. Dalam melaksanakan aksinya (jihad-red), terkadang sebagian
anggota JI menghalalkan jalan kekerasan,
termasuk bom bunuh diri, seperti yang pernah terjadi Bom Bali I dan II. Pada
perkembangannya, para anggota dan aktivis JI ini menyebar keberbagai negara di
Asia Tenggara, sepeti Malysia, Filiphina dan Thailand dan Indonesia. Dalam
peerjalananya, mulai tumbuh friksi perpecahan dalam tubuh JI, khususnya sejak
didirikannya Majelis Mujahidin Indonesia (MII) pada tahun 2000. Tidak setiap
orang bisa menjadi anggota JI seperti dalam angota organisasi lain, JI juga
mempunyai syarat bagi mereka yang ingin menjadi anggota JI. Dalam buku Membongkar Jamaah Islamiyah, pengakuan
Mantan JI, disebutkan persyaratan itu antara lain:
a. Harus
beragama Islam, karena organisasi JI adalah organisasi Islam
b. Harus
memahami ajaran Allah SWT dan Rasulullah SAW tentang perlunya berjama’ah.
c. Sebelum
ditawarkan untuk iltizam (bergabung kedadlam jama’ah), umat islam diberikan
proram tholabul ‘ilmi (menuntut ilmmu pengetahuan) berupa pengajian dan
khursus-kursus kuran g lebih sampai 1 ½ hingga 2 tahun.
d. Harus
aqil balig.
Jika
semua persyaratan tersebut dapat terlewati, maka orang ini dpat dinyatakan
sebagai anggota baru JI. Ketika sudah menjadi aanggota JI ada beberapa kewjiban
yang harus di taati:
a. mendenganr
dan taat kepad a Amir menurut kemampuannya dalam hal-hal tidak melkukan maksiat
b. Mentaati
peraturan Jamaah
c. Meminta
izin kepada Amir atau yang bertanggung jawa lainnya untuk tugas tertentu.
Diluar
itu JI juga memiliki prinsip dasar perjuangan atau yang dikenal dnegan Ushul
Manhaj Haraky li Iqamaddin (Pedoman Umum perjuangan Jamaah islmiyah/PUPJI).
Prinsip-prinsip
PUPJI itu diantaranya:
1.
Tujuan kita adalah
untuk mencari keridhaan Allah SWT dengan cara yang ditetpkan Allah SWT dan
Rsul-Nya.
2.
Akidah kita adalah
Akidah ahlussunnah Waljamaah minhajis shalih.
3.
Pemahaman kita tentang
Islam adalah syumul (menyeluruh), megikuti pemahaman shalafus shaleh.
4.
Sasaran perjuangan kita
adalah memperhambakan menusisa kepada Allah SWT semata.
5.
Jalan kita adalah iman,
hijrah, dan jihad fisabilillah.
6.
Bekal kita adalah ilmu
dan taqwa
7.
Wala’ kita kepada Allah
SWT, Rasulullah SAW dan orang-orang beriman.
8.
Musuh kita adalah setan
jin dan setan manusia
9.
Ikatan kita akan
kesamaan tujuan, akidah dan pemahaman mengenai agama.
10. Pengalaman
islam kita adalah secara murni dan kaffah (sempurna), sistem jamaah , kemudian
daulah, lalu kifalh.
E. AHMADIYAH
QADIANIYAH
1. Pengertian
dan Sejarah kemunculan
Ahmadiyah
qadiniyyah merupkan sebuah kelompok yang sangat fanatik kepada Mirza Ghulam
Ahmad al-adiyani. Mirza Ghulam lahir di Qadiniyyah, India, pada 1281 H. Arti
Ghulam ahmad adalah Hamba Ahmad atau Hamba Muhammad.
2. Ajaran
dan keyakinan
Mirza
ghulam hma menganggap dirinya sebagai mujaddid (pembaharu) dan pengikut nabi
SAW, meskipun ia juga menerima wahyu keuduknnya tidak sama dengan kedudukan
nabi Muhammad SAW beliau merupakan nabi terakir an tidak ada nabi lagi
setelahnya yang membawa syariat. Tetapi tidak menutup kemunginan, Allah SWT
mengutus kembali nabi yang tidak membawa syariat.
Diantara
nabi-nabi yang tidak membawa syariat diantaranya mirzaghulam ahmad al-qadiyani.
Dialah nabi yang berad adi naungan nabi Muhammad SAW.
Kelompok
Qadaniyyah juga terkenal dengan nama Ahmaiyyah dikaraenakanin kebiasaan orang-orang
barat dalam menyebut para pengikut sebuah kelompok dengan menyebut nama
pendirinya. Dalam rangkan menyebarkan aqidah, al-qadaniyyah menerbitkan sebuah
majalah yang diberi nama Majalah al-adyan. Sebelum meninggal yait pada tahun
1908 al-qadaniyyah telah berwasiat pada para pengikutnya agar merekea menulis
dikuburannya nama mirza ghulam ahmad mau’ud
(Mirza Ghulam Ahmad yang dijanjikan) .Maksudnya yang dijanjkan akan
masuk surga).
Sepeninggal
Mirza Ghulam Ahmad, para pengikut
qadiyani pecah menjadi 2 kelompok. Kelompok pertama adalah kelommpok yang
berpenapat bahwa mirza ghulam ahmadbenar-benar seorang nabi dan bahwa alran
qadaniyah atau ahmadiyyah adalah ebuah agama. Edangkan kelompok kedua
berpendapat bahw mirza hanyalah seorang wali allah saja. Ia hanya sseorang
mujaddid (pembaharu pada awal abad ke-14, sebaaimana telah dijelaskan dalam
perkataannyasendiri. Ia juga menggunakan tafsir da taqwil dalam menjelaskan
perkataaa-perkataan alqadaniyani, sehingga menurutnya, alqaniyani bukanlaha
aseorang anbi yang diutus Allah SWT, menurutnya nabi Muhammad adalah penutup
para nabi.
Akidah
dan Manhaj yang terdiri atas 22poin, di antaranya adalah sebagai berikut :
1.
Menjauhi , membenci,
memusuhi, dan memerangi thaghut
(segala sesuatu yang diibadahi selain Allah dan dia rela untuk diibadahi).
2.
Meyakini al-Qur’an itu
bukan makhluk, karena itu wajib untuk diagungkan, diyakini, diikuti, dan di
jadikan sebagai sumber hukum.
3.
Cinta kepada Nabi
Muhammad saw hukumnya wajib dan merupakan ibadah, sedangkan membencinya adalah
kekafiran, pengkhianatan dan kemunafikan.
4.
Menahan diri terhadap
apa-apa yang dipertikaikan sahabat, yang dalam hal itu mereka berijtihad, dan
mereka adalah sebaik-baik generasi.
5.
Beriman akan kambalinya
khilafah rasyidah sesuai dengan manhaj Nabi Muhammad saw.
6.
Tidak mengkhafirkan
seseorang dari kalangan orang-orang yang shalat menhadap kiblat kaum muslimin,
lantaran ia melakukan perbuatan dosa seperti berzina, minum khamr, dan mencuri,
selama ia tidak menganggapnya halal (pertengahan antara keyakinan khawarij dan
murijah).
7.
Berkeyakinan bahwa
suatu negara apabila disana berlaku hukum islam dan penguasanya Muslim, maka
negara itu adaah Negara Isam.
8.
Tidak memaksa orang
kafir untuk masuk islam. Namun orang kafir harus dipaksa tunduk di bawah
kekuasaan Islam untuk menghilangkan fitnah, melalui kekuatan Daulah Islamiyah.
9.
Berkeyakinan Islam
wajib diamalkan secara kafah dan tidak boleh diamalkan secara
sebagian-sebagian.
10.
Berkeyakinan bahwa
hukum islam itu wajib dijadikan sebagai satu-satunya landasan hukum.
11.
Bentuk komunitas Muslim
yang sesuai dengan sunnah Nabi adalah jamaah dan imamah.
12.
Jihad itu akan terus
berjalan sampai hari kiamat, baik dengan adanya imam atau tidak.
13.
Wajib bagi seluruh kaum
Muslimin untuk hidup di bawah satu kepemimpinan khalifah yang mengatur seluruh
urusan mereka berdasarkan syari’at Islam untuk kemaslahatndunia dan akhirat.
14.
JAT berwala’ (loyal)
kepada Allah, Rasul-Nya dan orang beriman. Dan membela wali-wali Allah dan
membenci musuh-musuh Allah.
F. JAMA’AH
ANSHARUT TAUHID (JAT)
1.
Jamaah dan Imamah Bagi JAT
Menurut
Abu Bakar Ba’asyir, selain menurunkan Islam sebagai landasan hidup untuk
mengatur kehidupan, Allah juga
menurunkan sistem untuk mengaturnya. Yaitu, dengan sistem kekuasaan. Allah juga
menurunkan sistem dalam memperjuangkan Islam dengan dakwah dan jihad. Allah
juga menurunkan cara dan sistem dalam berorganisasi dalam Islam dengan sistem al-Jama’ah wa al-Imamah (kelompok dan
kepemimpinan).
Dalam
sistem al-Jama’ah wa al-imamah,
menurut Ba’asyir, Amir bertanggung jawab langsung kepada Allah. Amir juga tidak
dipilih secara periodik, melainkan berlaku kepemimpinan seumur hidup selama
amir itu tidak melanggar syari’at, wafat, atau masih hidup tapi lemah. Karena
itu Ba’asyir itu menyetujui adanya kongres seperti yang selama ini dilakukan
oleh MMI.
Perbedaan
pendapat soal berorganisasi itu akhirnya berujung pada mundurnya ABB dari MMI.
Bagi Ba’asyir, dakwah dan jihad sebagai cara perjuangan yang ditempuh MMI sudah
benar. Namun sistem yang digunakannya masih menggunakan cara-cara yang tidak
sesuai dengan sunnah Nabi.
Semula,
ia akan memperbaiki sistem organisasi MMI agar sesuai dengan sunnah Nabi
Muhammad saw. Namun takdir Allah berkata lain, baru dua tahun menjabat sebagai
amir, ia dipenjara. Setelah ia keluar dari LPN Cipinang, ia berusaha meluruskan
sistem organisasi MMI. Namun hasilnya, menurutnya, nihil. Maka ia pun
memutuskan untuk mundur sebagai amir MMI.
Soal
sistem kepemimpinan ini juga membuat Ba’asyir diterpa tudingan miring bahwa
dirinya menganut paham Syiah. Namun tudingan ini dibantah Ba’asyir. Menurutnya,
dalam Syiah, seorang amir ma’shum (terjaga dari dosa), sedangkan menurut islam,
amir itu tidak ma’shu, bisa saja berbuat salah dan dosa.
Sisten
al-jama’ah wa ai-imamah ini kemudian
menjadi akidah dan manhaj Jama’ah Ansharut Tauhid (JAT), kendaraan baru Abu
Bakar Ba’asyir. Disebutkan dalam Pokok-Pokok Akidah dan Manhaj JAT : Dakwah dan
amar ma’ruf nahyi munkar adalah
kewajiban yang harus dilaksanakan baik oleh perorangan maupun oleh sebuah komunitas
muslim untuk menjaga keberlangsungan syariat islam. Adapun bentuk komunitas
muslim yang sesuai dengan sunnah nabi adalah al-jama’ah wa al-imamah.
G.
FRONT
PEMBELA ISLAM (FPI)
1.
Sekilas
tentang FPI
FPI
dideklarasikan pada 17 Agustus 1998 (atau 24 Rabiuts Tsani 1419 H) di halaman
Pondok Pesantren Al Um, Kampung Utan, Ciputat, di Selatan Jakarta oleh sejumah
Habaib, Ulama, Mubaligh dan Aktivis Muslim dan saksikan ratusan santri yang
berasal dari daerah Jabotabek, dipimpin oleh Habib Muhammad Rizieq bin Syihab,
Lc.
Organisasi
ini dibentuk dengan tujuan menjadi wadah kerja sama antara ulama dan umat dalam
menegakkan Amar Ma’ruf dan Nahi Munkar di setiap aspek kehidupan.
Latar
belakang pendirian FPI sebagaimana disebutkan oleh organisasi tersebut antara
lain :
a.
Adanya penderitaan
panjang ummat Islam di Indonesia karena lemahnya kontrol sosial penguasa sipil
maupun militer akibat banyaknya pelanggaran HAM yang dilakukan oleh oknum
penguasa.
b.
Adanya kemungkaran dan
kemaksiatan yang semakin merajalela diseluruh sektor kehidupan.
c.
Adanya kewajiban untuk
menjaga dan mempertahankan harkat dan martabat Islam serta ummat Islam.
FPI
menjadi sangat terkenal karena aksi-aksinya yang kontroversial sejak tahun 1998, terutama yang dilakukan oleh laskar para
militernya yakni Laskar Pembela Islam. Walaupun disamping aksi-aksi
kontroversial tersebut FPI juga melibatkan diri dalam aksi-aksi kemanusiaan
antara lain pengiriman relawan ke daerah bencana tsunami di Aceh
1. Ajaran
dan Dasar Berpikir
Sesuai
dengan latar belakang pendiriannya, FPI mempunyai sudut pandang yang menjadi
kerangka berfikir organisasi(visi), bahwa penegakan amar ma’ruf nahi munkar adalah satu-satunya solusi untuk menjauhkan
kezhaliman dan kemungkaran.
FPI
bermaksud menegakkan amar ma’aruf nahi
munkar secara kaffah di segenap sektor kehidupan, dengan tujuan menciptakan
umat sholihat yang hidup dalam baldah thoyyibah dengan limpahan keberkahan dan
keridhan Allah ‘azza wa Jalla.
2. Amar
Ma’ruf Nahi Munkar ala FPI
Sebagaimana
tertulis dalam dokumen Risalah Historis
dan Garis Perjuangan FPI, tujuan berdirinya FPI adalah untuk melakukan amar ma’ruf nahi munkar. Menurut risalah
tersebut, amar ma’aruf adalah
perintah untuk melakukan segala perkara yang baik menurut hukum syara’ dan
hukum akal. Sedangkan nahi munkar
adalah mencegah setiap kejahatan atau kemungkaran, yakni setiap perkara yang
dianggap buruk oleh syara’ dan hukum akal.
Meskipun
memiliki berbagai program, misalnya alam bidang sosial, aksi FPI Yang paling
kentara adalah penerapan nahi munkar. Seperti dilaporkan media, aksi mereka
banyak yang berakhir rusuh dan anarkis.
Kenyataan
ini mengundang berbagai komentar, baik yang pro maupun yang kontra dengan
tindakan FPI. Sedangkan di sisi lain, pihak FPI menyakini apa yang mereka
lakukan dibenarkan oleh syariat, yakni dalam kerangka amar ma’ruf nahi munkar. Mereka memiliki metode dan strategi
dakwah, amar ma’ruf dan nahi munkar.
Mereka juga memberikan penjelasan dengan disertai dalil dan argumen untuk membenarkan
pendapatnya.
Dalam
mencapai tujuan amar ma’ruf, FPI
mengutamakan metode bijaksana dan lemah lembut melalui langkah-langkah :
mengajak dengan hikmah (kebijaksanaan, lemah lembut), memberi ma’uizhah
hasanah(nasehat yang baik), dan berdiskusi deng cara yang terbaik. Sedangkan
dalam melakukan nahi munkar, FPI mengutamakan sikap yang tegas melalui
langkah-langkah : menggunakan kekuatan atau kekuasaan bila mampu dan
menggunakan lisan dan tulisan, bila kedua langkah tersebut tidak mampu
dilakukan, maka nahi munkar dilakukan dengan menggunakan hati, yang tertuang
dalam ketegasan sikapuntuk menyetujui segala bentuk kemungkaran.
Terkait
dakwah, metode yang digunakan harus lembut, karena Allah menyatakan:
ادْعُ إِلَى
سَبِيلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ وَجَادِلْهُمْ
بِالَّتِي هِيَ أَحْسَن
“Serulah (manusia) kepada jalan Rabbmu dengan hikmah
dan pelajaran yang baik dan bantalah mereka dengan cara yang lebih baik.”
(QS. An-Nahl 125)
Menurut
FPI, ayat di atas adalah ayat dakwah, bukan ayat nahi munkar. Menurut mereka, orang terkadang salah kaprah, di mana
ayat dakwah dianggap sebagai dalil nahi munkar, sehingga menghasilkan
kesimpulan bahwa metode nahi munkar harus lembut.
Selain
dakwah, amar ma’ruf dan munkar, terdapat lagi ayat-ayat tentang perang. FPI
melihat, berbagai macam kemungkaran, seperti peredaran narkoba, perjudian,
film-film porno di Indonesia, saat ini bukan lagi sebagai kemksiatan
individual. Tapi sudah menjadi kemaksiatan struktural. Ketua Umum FPI Habib
Muhammad Rizieq bin Syihab mengatakan:
Kalau
kemungkaran individual, orang melakukan maksiat, baik yang berkenaan dengan
narkoba, judi, VCD porno dan sebagainya, tidak terlalu sulit kita
menghadapinya. Insya’Allah lewat dakwah, lewat tabligh, lewat
pengajian-pengajian, itu semua bisa di atasi dengan baik. Tapi yang jadi
persoalan, kemungkaran di Indonesia saat i ni sudah menjadi kemaksiatan
struktural. Mereka punya sistem dan god father yang mengendalikan itu semua.
Jaringannya menggurita, masuk ke yudikatif, eksekutif, legislatif. Masuk juga
ke elemen-elemen penegak hukum.
Karena
itulah, dalam menghadapi kemungkaran dan kemaksiatan yang sudah terstruktural
ini, FPI melancarkan strategi perang, karena kemungkarantersebut dinilai
sebagai senjata perang oleh pihak musuh.
Habib
Rizieq beralasan :
Bahkan
yang lebih berbahaya, pornografi, perjudian, narkoba, di Indonesia, ternyata
bukan hanya kemaksiatan struktural. Lebih dari itu, sudah bisa dijadiakan
senjata perang. Jadi sebetulnya, kita saat ini sedang di serang. Kita di bom
oleh negara-negara yang menginginkan liberalisasi dan kebebasan di Indonesia.
Kita di serang dengan bom-nom maksiat. Tahun 70-an kita jadi negara transit
narkoba. Tiba-tiba tahun 80-an kita jadi negara konsumen. Eh, tahun 90-an
tahu-tahu kita berubah jadi negara produsen. Yang menarik, ketika digrebek dan
ditangkap, mulai dari pemilik, operator pelaksana, ternyata banyak yang bukan
orang Indonesia. Narkoba itu di jual dengan harga murah yang tidak masuk akal.
VCD porno dengan harga murah, kenapa? Mereka bukan untuk cari duit. Mereka mau
merusak moral. Inilah dahsyatnya bom-bom maksiat yang dilancarkan oleh
musuh-musuh kita Ini tadi yang saya katakan, ini perang. Kemaksiatan sudah
dijadikan alat perang.
Secara
umum, strategi FPI dalam marespon kemungkaran terutama yang berkaitan dengan
penyakit masyarakat sangat bergantung pada kondisi lokasi terjadinya
kemungkaran tersebut. Jika masyarakat tidak mendukung kemungkaran tersebut, FPI
akan menggunakan cara persuasif, melalui penggunaan metode pengajian atau
tabligh akbar. Dengan pengajian atau tabligh akbar tersebut, FPI berharap
terjadi perubahan paradigma masyarakat dari mendukung maksiat ke menolak
masyarakat.
Namun
Habib Rizieq mengatakan, kekerassan atau penyerbuan yang dilakukan FPI
merupakan jalan terakhir yang terpaksa diambil FPI setelah setelah melewati
berlapis-lapis prosedur, diantaranya mendesak kepolisian untuk berbuat.
Setelah
melalui investigasi tempat-tempat tersebut terbukti di salah gunakan atau
digunakan sebagai tempat kemungkaran, FPI akan melayangkan surat peringatan,
baik kepada pemilik usaha maupun kepolisian terdekat. Mereka diberi deadline.
Jika sampai pada waktu yang telah disebutkan belum ada tindakan, baik dari
pemilik usaha maupun kepolisian, baru FPI akan melakukan sweeping atau penggrebekan.
3.
Perbedaan
Metode Dakwah, Amar Ma’ruf, dan Nahi munkar
Seperti
telah dijelaskan, menurut FPI, dakwah harus lembut, amar ma’ruf harus tegas,
nahi munkar harus keras.
Kesimpulan
bahwa dakwah harus lembut, diambil dari ayat:
ادْعُ إِلَى
سَبِيلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ وَجَادِلْهُمْ
بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ إِنَّ رَبَّكَ هُوَ أَعْلَمُ بِمَنْ ضَلَّ عَنْ سَبِيلِهِ
وَهُوَ أَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِينَ
“Serulah (manusia) kepada jalan Rabbmu dengan hikmah
dan pelajaran yang baik dan bantalah mereka dengan cara yang lebih baik .
Sesungguhnya Rabbmu Dia-lah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat
petunjuk.” (QS. An-Nahl 125)
Sedang
secara umum, makna “keras” mencakup berbagai aspek dan bentuknya, berupa
intonasi suara yang kasar dalam dakwah bi al-lisan, pilihan kata-kata yang
“nylekit” dalam tulisan atau dakwah bi al-risalah, ataupun dalam manivesitasi
tindakan yang terkesan “anarkis” dalam dakwah bi al-hal.
Demikian
pula makna yang “menyejukkan” mencakup intonasi ucapan yang lembut, pilihan
kata yang berkesan, indah dan menyentuh hati, materi dakwah yang tidak
cenderung memvonis dan tindakan amr bi al-ma’ruf atau nahi al-munkar baik dalam
dakwah bi al-lisan, dakwah bi al-hal, ataupun dalam dakwah bi al-risalah.
Mengenai
sifat “keras” terhadap orang kafir ini, ash-Shabuni menjelaskan, yaitu, “Keras
terhadap orang-orang yang menentang Islam yang demikian itu karena memang sudah
diperintahkan Allah kepada mereka, begitu kerasnya sehingga orang-orang mukmin
itu menjaga diri dari busana mereka, bahkan menyentuh badan mereka.”
Jadi
keras dalam dakwah adalah berarti bertindak tegas terhadap orang-orang yang
menentang agama Islam, atau menghalangi berkembangnya agam Islam bahkan kalau
perlu membunuh orang yang memusuhi Islam. Demikian pula, keras juga berarti
tegas dalam menyuruh agar kaum kafir itu kembali ke jalan Allah yang ma’ruf dan
tegas dalam mencegah dari yang munkar. Dalam hal ini Abu Sa’id al-Khudri
meriwayatkan dari Rasulullah bersabda ;
“Sungguh
Allah akan bertanya pada hari kiamat sampai pada pertanyaan, apa yang
menghalangimu untuk mengingkari kemungkaran saat engkau melihatnya ? Apabila
Allah mendiktekan hujjah pada seorang hamba maka ia berkata, “Ya Tuhanku saya
berharap (rahmat)-Mu dan saya takut kpada manusia”, dalam riwayat lain
disebutkan, “Aku lebih berhak engkau takuti.”
Kapan
aktivitass dakwah dengan metode keras dapat dilakukan? Dan bagaimana caranya?
Metode dakwah yang keras (tegas) dapat digunakn apabila memenuhi syarat dan
rambu-ambu berikut ini :
1.
Untuk mecegah kemungakaran
Jika memiliki posisi kuat, umat
Islam bisa menjaga kehormatan dan harta dari gangguan dan kezaliman kafir.
Bahkan jika yang berniat jahat tersebut saudara sesama muslim, maka saudaranya
yang lain wajib mencegahnya. Imam Muslim meriwayatkan, sanadnya dari Abu Zaid.
Ia berkat bahwa Rasulullah bersabda:
2.
Dakwah Islam dihalangi
Apabila dakwah Islam dihalangi atau
kaum muslimin dizalimi, maka kaum muslimin diizinkan berdakwah atau
mempertahankan jalannya dakwah dengan cara yang semisal. Sebagai contohnya adalah
perang-perang yang dijalankan Rasulullah. Allah berfirman:
أُذِنَلِلَّذِينَيُقَاتَلُونَبِأَنَّهُمْظُلِمُواوَإِنَّاللَّهَعَلَىنَصْرِهِمْلَقَدِيرٌ
“Telah diizinkan (berperang) bagi orang-orang yang
diperangi, karena sesungguhnya mereka telah dianiaya. Dan sesungguhnya Allah,
benar-benar Maha Kuasa menolong mereka itu.” (QS. Al-Hajj:39)
Apabila
dakwah dengan tegas diberlakukan pada suatu tempat disela-sela zaman niscaya
kaum kafir itu akan mengerti benar apa itu prinsip-prinsip keadilan dalm Islam,
prinsip-prinsip hubungan sosial dalam Islamdan masalah-maslah lain dalam pokok
dan mendasar dalam Islam. Dengan demikian kemungkaran dan kemaksiatan akan
lebih mudah diminimalisasi. Sebagai buktinya adalah jama’atu al-muslimin di
Madinah di masa Rasulullah.
Sebaliknya,
ketika dakwah dengan tegas ini ditinggalkan dengan acuh tak acuh terhadap
kemungkaran atau tidak peduli dengan sesama muslim yang dizalimi, bahkan
membiarkan kemaksiatan disekeliling, maka sama artinya umat Islam menunggu
bencana dan menanti derita yang akan menimpa umat.
Rasulullah
bersabda (yang artinya),”Tidak ada seorang yang melakukan kemaksiatan di tengah
umat, di mana mereka mampu mengubah kemungkarannyaa, tapi mereka enggan
merubahnya, kecuali Allah akan menurunkan adzabnya, sebelum mereka mati.”
Umat
Islam menjadi umat terbaik yang pernah ada di muka bumi, karena kebebasan untuk
mengungkapkan pendapatnya benar-benar terjamin. Islam mewajibkan nahi munkar
(melarang kemungkaran) terhadap segala perilaku yang membahayakan Islam dan
manusia. Amanat untuk mengajak kepada kebaikan dan dakwah adalah tanggung jawab
setiap muslim. Jika umat islam meninggalkan kewajiban amar ma’ruf nahi munkar,
maka mereka tidak lagi memiliki keistimewaan sebagai umat yang terbaik.
Islam
juga menilai bahwa amar makruf nahi munkar merupakan tanggung jawab kolektif.
Allah berfirman :
شَدِيدُشَدِيدُاللَّهَأَنَّوَاعْلَمُواخَاصَّةًمِنْكُمْظَلَمُواالَّذِينَتُصِيبَنَّلَافِتْنَةًوَاتَّقُوا
“Dan peliharalah dirimu dari pada siksaan yang tidak
khusus menimpa orang-orang yang zalim saja di antara kamu. Dan ketahuilah bahwa
Allah amat keras siksaannya.” (QS. Al-Anfal: 25)
Maksut
dari tanggung jawab kolektif adalah, jika kemungkaran terjadi namun tidak yang
berusaha melarangnya, maka Allah akan memberi sanksi kepada semua umat. Kepada
yang melakukan kemungkaran itu karena perilakunya, dan kepada yang tidak
melakukan kemungkaran, karena sikapnya yang pasif dan diam.
Namun
betapapun tegasnya umat Islam harus mendakwakan Islam, mereka harus tetap
berpegang teguh kepada firman Allah: “(Tetapi) janganlah kamu melampai batas,
karen sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas.”
Dengan
demikian, upaya persuasif dan penuh kelembutan merupakan strategi dakwah,
sedangkan amar makruf nahi munkar bisa dilakukan dengan lembut maupun
tegas/keras.
Namun
sejatinya, ada beda antara metodologi dakwah dan metodologi pemerintahan, yang
akan menjauhkan umat dari segala kerancuan dan ambiguitas antara keduanya.
Suatu hal yang sering membawa juru dakwah, dan umat yang meyakini kewajiban
amar ma’ruf nahi munkar, serta pemerintah, ke dalam kekacauan berpikir dan
sikap tenang posisi, tugas dan wewenang masing-masing.
Hal
ini diperjelas oleh penafsiran bahwa yang dimaksut dengan lafadz “fal
yaughayyir bi yadihi” (maka hendaklah mengubah kemungkaran itu dengan
tangannya) dalam hadist riwayat Imam Muslim di atas adalah “mengubah
kemungkaran dengan kekuasaannya.” Dengan kata lain, hal itu adalah wewenang
pemerintah, bukan “milisi-milisi” bentukan rakyat. Namun di mana pun, milisi
akan muncul ketika negara lemah. Logikanya sederhana, karena masyarakat merasa
terancam, sementara negara atau pemerintah tidak bisa melindungi warga. Dalam
hal ini, rupanya FPI juga telah menilai negara saat ini lemah karena meski
sudah diberi laporan tentang adanya kemungkaran, tidak ada tindakan rill untuk
menumpasnya. Padahal, apabila masing-masing memahami porsi dan tegasnya,
“kerancuan” wewenang seperti ini tidak akan terjadi.
Dengan
kata lain, idealnya terdapat job discription yang jelas antara juru dakwah dan amar
ma’ruf nahi munkar dengan pemerintah. Dengan tujuan agara tidak terjadi
kericuhan dan konflik horizontal di tengah masyarakat.
KESIMPULAN
1.
Perbedaan
Aswaja dengan Ikhwanul Muslimin
Aswaja
|
Ikhwaul Muslimin
|
2.
Perbedaan
Aswaja dengan Hizbut Tahrir
Aswaja
|
Hizbut
Tahrir
|
3.
Perbedaan
Aswaja dengan Jama’at Tablig
Aswaja
|
Jama’at
Tablig
|
4. Perbedaan Aswaja dengan
Jama’ah Islamiyyah (Ji) Indonesia
Aswaja
|
Jama’ah
Islamiyyah (Ji) Indonesia
|
5. Perbedaan Aswaja dengan
Ahmadiyyah Qadiyaniyyah
Aswaja
|
Ahmadiyyah
Qadiyaniyyah
|
6. Perbedaan Aswaja dengan
Jama’ah Ansharut Tauhid
Aswaja
|
Jama’ah
Ansharut Tauhid
|
7. Perbedaan Aswaja dengan
Front Pembela Islam
Aswaja
|
Front
Pembela Islam
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar