Selasa, 12 Juli 2016

PERJALANAN ASWAJA KE NUSANTARA

PERJALANAN ASWAJA KE NUSANTARA

PERJALANAN ASWAJA KE NUSANTARA
(PERIODE PASKA WALISONGO)










Makalah untuk memenuhi tugas mata kuliah Agama 2 (Aswaja)

Disusun Oleh:
1. Maulfi Ahmad Noor Wafiri (151120001570)
2. Oktaviana Muvidah (151120001720)
3. Naili Maghfiroh (151120001736)



FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
UNIVERSITAS ISLAM NAHDLATUL ULAMA  JEPARA
TAHUN 2016
KATA PENGANTAR


Puji syukur kehadirat Allah SWT yang karena anugerah dari-Nya kami dapat menyelesaikan makalah tentang " Perjalanan Aswaja ke Nusantara " ini. Sholawat dan salam semoga senantiasa tercurahkan kepada junjungan besar kita, yaitu Nabi Muhammad SAW yang telah menunjukkan kepada kita jalan yang lurus berupa ajaran agama Islam yang sempurna dan menjadi anugerah serta rahmat bagi seluruh alam semesta.
Penulis sangat bersyukur karena telah menyelesaikan makalah yang menjadi tugas agama dua dengan judul "Perjalanan Aswaja ke Nusantara". Disamping itu, kami mengucapkan banyak terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu kami selama pembuatan makalah ini berlangsung sehingga terealisasikanlah makalah ini.
Demikian yang dapat kami sampaikan, kami menyadari dalam penulisan makalah ini jauh dari kesempurnaan.Oleh karena itu, dengan segala kerendahan hati kami menerima kritik dan saran agar penyusunan makalah selanjutnya menjadi lebih baik lagi. Semoga makalah ini memberi manfaat bagi banyak pihak.Amiin.



Jepara, 7 April 2016


Penulis






BAB I
PENDAHULUAN


A.  Latar Belakang

Perjalanan Aswaja ke Nusantara pada periode paska Walisongo banyak diperankan oleh para kiai yang ada di pondok pesantren. Pembahasan tema ini menjadi menarik karena dokumen-dokumen terkait Aswaja pada masa penjajahan tidak banyak ditemukan.




B.  Sistematika Pembahasan
Pada makalah ini akan dibahas mengenai :
1. Kerajaan Islam sebagai Penyebar Aswaja di Nusantara
2. Sejarah Berkembangnya Pondok Pesantren
3. Pondok Pesantren sebagai benteng Aswaja

C. Tujuan
Adapun tujuan pembahasan makalah ini adalah :
1) Memahami perjalanan Aswaja ke Nusantara pada periode paska Walisongo
2) Mengenang kembali jasa-jasa para ulama’ terdahulu
3) Memahami dan mencontoh cara berdakwah yang baik dan mengamalkan semua ajaran yang diajarkan oleh para ulama’







BAB II
PEMBAHASAN


A. Perjalanan Aswaja dipelopori Kerajaan Islam di Nusantara
1. Kerajaan Aceh
a. Awal Perkembangan Kerajaan Aceh
Aceh semula menjadi daerah taklukkan Kerajaan Pedir. Akibat Malaka jatuh ke tangan Portugis, pedagang yang semula berlabuh di pelabuhan Malaka beralih ke pelabuhan milik Aceh. Dengan demikian, Aceh segera berkembang dengan cepat dan akhirnya lepas dari kekuasaan Pedir. Aceh berdiri sebagai kerajaan merdeka. Sultan pertama yang memerintah dan sekaligus pendiri Kerajaan Aceh adalah Sultan Ali Mughayat Syah (1514-1528 M).
b. Aspek Kehidupan Politik dan Pemerintahan
Aceh cepat tumbuh menjadi kerajaan besar karena didukung oleh faktor sebagai berikut:
1) Letak Ibu kota Aceh yang sangat strategis.
2) Pelabuhan Aceh (Olele) memiliki persyaratan yang baik sebagai pelabuhan dagang.
3) Daerah Aceh kaya dengan tanaman lada sebagai mata dagangan ekspor yang penting.
4) Jatuhnya Malaka ke tangan Portugis menyebabkan pedagang Islam banyak yang singgah ke Aceh.
Sultan Ali Mughayat Syah merupakan Raja pertama di Aceh sekaligus beliau merupakan pendiri Kerajaan Aceh. Setelah beliau mangkat, raja selanjutnya adalah Sultan Ibrahim. Dalam pemerintahannya beliau berhasil menaklukkan Pedir. Raja berikutnya adalah Iskandar Muda. Pada masa pemerintahan beliau, Aceh mencapai puncak kejayaan dan menjadi sumber komoditas lada dan emas. Beliau mangkat pada tahun 1636 M dan digantikan oleh menantunya Iskandar Thani yang tidak memiliki kecakapan. Dalam pemerintahannya, Kerajaan Aceh terus-menerus mengalami kemunduran.


c. Aspek Kehidupan Kebudayaan
Letak Aceh yang strategis menyebabkan perdagangannya maju pesat. Dengan demikian, kebudayaan masyarakatnya juga makin bertambah maju karena sering berhubungan dengan bangsa lain. Contohnya, yaitu tersusunnya hukum adat yang dilandasi ajaran Islam yang disebut Hukum Adat Makuta Alam. Dengan hukum adat Makuta Alam itulah, sehingga tata kehidupan dan segala aktivitas masyarakat Aceh didasarkan pada aturan Islam. Dengan demikian, keadaan Aceh seolah-olah identik dengan Mekah, Arab Saudi. Atas dasar itulah, Aceh mendapat julukan Serambi Mekah.
d. Aspek Kehidupan Ekonomi dan Sosial
Bidang perdagangan yang maju menjadikan Aceh makin makmur. Setelah Sultan Ibrahim dapat menaklukkan Pedir yang kaya akan lada putih, Aceh makin bertambah makmur dan menjadi sumber komoditas lada dan emas. Dengan kekayaan melimpah, Aceh mampu membangun angkatan bersenjata yang kuat.
e. Kemunduran Kerajaan Aceh
Kemunduran Kerajaan Aceh ketika itu disebabkan oleh hal-hal sebagai-berikut:
Kekalahan perang antara Aceh melawan Portugis di Malaka pada tahun 1629 M.  Tokoh pengganti Iskandar Muda tidak secakap pendahulunya. Permusuhan yang hebat di antara kaum ulama yang menganut ajaran berbeda. Daerah-daerah yang jauh dari pemerintahan pusat melepaskan diri dengan Aceh. Pertahanan Aceh lemah sehingga bangsa-bangsa Eropa lainnya berhasil mendesak dan menggeser daerah-daerah perdagangan Aceh. Akibatnya perekonomian semakin melemah.




2. Kerajaan Demak
a. Awal Perkembangan Kerajaan Demak
Kerajaan Demak merupakan kerajaan Islam pertama di Pulau Jawa. Demak sebelumnya merupakan daerah vasal atau bawahan dari Majapahit. Daerah ini diberikan kepada Raden Patah, keturunan Raja Majapahit yang terakhir. Ketika kekuasaan kerajaan Majapahit melemah, Raden Patah memisahkan diri sebagai bawahan Majapahit pada tahun 1478 M. Dengan dukungan dari para bupati, Raden Patah mendirikan kerajaan Islam Demak dengan gelar Senopati Jimbung Ngabdurrahman Panembahan Palembang Sayidin Panatagama. Sejak saat itu, kerajaan Demak berkembang menjadi kerajaan maritim yang kuat. Wilayahnya cukup luas, hampir meliputi sepanjang pantai utara Pulau Jawa. Sementara itu, daerah pengaruhnya sampai ke luar Jawa, seperti ke Palembang, Jambi, Banjar, dan Maluku.
b. Aspek Kehidupan Politik dan Pemerintahan
Pada tahun 1507 M, Raja Demak pertama, Raden Patah mangkat dan digantikan oleh putranya Pati Unus. Pada masa pemerintahan Pati Unus, Demak dan Portugis bermusuhan, sehingga sepanjang pemerintahannya, Pati Unus hanya memperkuat pertahanan lautnya, dengan maksud agar Portugis tidak masuk ke Jawa. Setelah mangkat pada tahun 1521, Pati unus digantikan oleh adiknya Trenggana. Setelah naik takhta, Sultan Trenggana melakukan usaha besar membendung masuknya portugis ke Jawa Barat dan memperluas kekuasaan Kerajaan Demak.
Beliau mengutus Faletehan beserta pasukannya untuk menduduki Jawa Barat. Dengan semangat juang yang tinggi, Faletehan berhasil menguasai Banten dan Sunda Kelapa lalu menyusul Cirebon. Dengan demikian, seluruh pantai utara Jawa akhirnya tunduk kepada pemerintahan Demak. Faletehan kemudian diangkat menjadi raja di Cirebon. Pasukan demak terus bergerak ke daerah pedalaman dan berhasil menundukkan Pajang dan Mataram, serta Madura. Untuk memperkuat kedudukannya, Sultan Trenggana melakukan perkawinan politik dengan Bupati Madura, yakni mengawinkan Putri Sultan Trenggana dengan Putra Bupati Madura, Jaka Tingkir. Sultan Trenggana mangkat pada tahun 1546 M.
Mangkatnya Beliau menimbulkan kekacauan politik yang hebat di Demak. Negara bagian banyak yang melepaskan diri, dan para ahli waris Demak juga saling berebut tahta sehingga timbul perang saudara dan muncullah kekuasaan baru, yakni Kerajaan Pajang.

c. Aspek Kehidupan Sosial dan Budaya
Kehidupan sosial masyarakat Kerajaan Demak telah berjalan teratur. Pemerintahan diatur dengan hukum Islam tanpa meninggalkan norma-norma lama begitu saja. Hasil kebudayaan Demak merupakan kebudayaan yang berkaitan dengan Islam. Seperti ukir-ukiran Islam dan berdirinya Masjid Agung Demak yang masih berdiri sampai sekarang. Masjid Agung tersebut merupakan lambang kebesaran Demak sebagai kerajaan Islam.
d. Aspek Kehidupan Ekonomi
Dalam bidang ekonomi, Demak berperan penting karena mempunyai daerah pertanian yang cukup luas dan sebagai penghasil bahan makanan, terutama beras. Selain itu, perdagangannya juga maju. Komoditas yang diekspor, antara lain beras, madu, dan lilin.
e. Keruntuhan Kerajaan Demak
Keruntuhan Kerajaan Demak disebabkan karena pembalasan dendam yang dilakukan oleh Ratu Kalinyamat yang bekerja sama dengan Bupati Pajang Hadiwijaya (Jaka Tingkir). Mereka berdua ingin menyingkirkan Aria Penansang sebagai pemimpin Kerajaan Demak karena Aria Penansang telah membunuh suami dan adik suami dari Ratu Kalinyamat. Dengan tipu daya yang tepat mereka berhasil meruntuhkan pemerintahan dari Bupati Jipang yang tidak lain adalah Aria Penansang. Aria Penansang sendiri berhasil dibunuh Sutawijaya. Sejak saat itu pemerintahan Demak pindah ke Pajang dan tamatlah riwayat Kerajaan Demak.



3. Kerajaan Banten
Awal Perkembangan Kerajaan Banten
Semula Banten menjadi daerah kekuasaan Kerajaan Pajajaran. Rajanya (Samiam) mengadakan hubungan dengan Portugis di Malaka untuk membendung meluasnya kekuasaan Demak. Namun melalui, Faletehan, Demak berhasil menduduki Banten, Sunda Kelapa, dan Cirebon. Sejak saat itu, Banten segera tumbuh menjadi pelabuhan penting menyusul kurangnya pedagang yang berlabuh di Pelabuhan Malaka yang saat itu dikuasai oleh Portugis. Pada tahun 1552 M, Faletehan menyerahkan pemerintahan Banten kepada putranya, Hasanuddin. Di bawah pemerintahan Sultan Hasanuddin (1552-1570 M), Banten cepat berkembang menjadi besar. Wilayahnya meluas sampai ke Lampung, Bengkulu, dan Palembang.
b.  Aspek Kehidupan Politik dan Pemerintahan
Raja Banten pertama, Sultan Hasanuddin mangkat pada tahun 1570 M dan digantikan oleh putranya, Maulana Yusuf. Sultan Maulana Yusuf memperluas daerah kekuasaannya ke pedalaman. Pada tahun 1579 M kekuasaan Kerajaan Pajajaran dapat ditaklukkan, ibu kotanya direbut, dan rajanya tewas dalam pertempuran. Sejak saat itu, tamatlah kerajaan Hindu di Jawa Barat.
Pada masa pemerintahan Maulana Yusuf, Banten mengalami puncak kejayaan. Keadaan Banten aman dan tenteram karena kehidupan masyarakatnya diperhatikan, seperti dengan dilaksanakannya pembangunan kota. Bidang pertanian juga diperhatikan dengan membuat saluran irigasi.
Sultan Maulana Yusuf mangkat pada tahun 1580 M. Setelah mangkat, terjadilah perang saudara untuk memperebutkan tahta di Banten. Setelah peristiwa itu, putra Sultan Maulana Yusuf, Maulana Muhammad yang baru berusia sembilan tahun diangkat menjadi Raja dengan perwalian Mangkubumi.
Masa pemerintahan Maulana Muhammad berlangsung tahun 1508-1605 M. Kemudian digantikan oleh Abdulmufakir yang masih kanak-kanak didampingi oleh Pangeran Ranamenggala. Setelah pangeran Rana Menggala wafat, Banten mengalami kemunduran.
c. Aspek Kehidupan Ekonomi dan Sosial
Banten tumbuh menjadi pusat perdagangan dan pelayaran yang ramai karena menghasilkan lada dan pala yang banyak. Pedangang Cina, India, gujarat, Persia, dan Arab banyak yang datang berlabuh di Banten. Kehidupan sosial masyarakat Banten dipengaruhi oleh sistem kemasyarakatan Islam. Pengaruh tersebut tidak terbatas di lingkungan daerah perdagangan, tetapi meluas hingga ke pedalaman.
d. Kemunduran Kerajaan Banten
Penyebab kemunduran Kerajaan Banten berawal saat mangkatnya Raja Besar Banten Maulana Yusuf. Setelah mangkatnya Raja Besar terjadilah perang saudara di Banten antara saudara Maulana Yusuf dengan pembesar Kerajaan Banten. Sejak saat itu Banten mulai hancur karena terjadi peang saudara, apalagi sudah tidak ada lagi raja yang cakap seperti Maulana Yusuf.



4. Kerajaan Mataram Islam
a. Awal Perkembangan Kerajaan Mataram Islam
Pada waktu Sultan Hadiwijaya berkuasa di Pajang, Ki Ageng Pemanahan dilantik menjadi Bupati di Mataram sebagai imbalan atas keberhasilannya membantu menumpas Aria Penangsang. Sutawijaya, putra Ki Ageng Pemanahan diambil anak angkat oleh Sultan Hadiwijaya. Setelah Ki Ageng Pemanahan wafat pada tahun 1575 M, Sutawijaya diangkat menjadi bupati di Mataram. Setelah menjadi bupati, Sutawijaya ternyata tidak puas dan ingin menjadi raja yang menguasai seluruh Jawa, sehingga terjadilah peperangan sengit pada tahun 1528 M yang menyebabkan Sultan Hadiwijaya mangkat. Setelah itu terjadi perebutan kekuasaan di antara para Bangsawan Pajang dengan pasukan Pangeran Pangiri yang membuat Pangeran Pangiri beserta pengikutnya diusir dari Pajang, Mataram. Setelah suasana aman, Pangeran Benawa (putra Hadiwijaya) menyerahkan takhtanya kepada Sutawijaya yang kemudian memindahkan pusat pemerintahannya ke kotagede pada tahun 1568 M. Sejak saat itu berdirilah Kerajaan Mataram.
b. Aspek Kehidupan Politik dan Pemerintahan
Dalam menjalankan pemerintahannya, Sutawijaya, Raja Mataram banyak menghadapi rintangan. Para bupati di pantai utara Jawa seperti Demak, Jepara, dan Kudus yang dulunya tunduk pada Pajang memberontak ingin lepas dan menjadi kerajaan merdeka. Akan tetapi, Sutawijaya berusaha menundukkan bupati-bupati yang menentangnya dan Kerajaan Mataram berhasil meletakkan landasan kekuasaannya mulai dari Galuh (Jabar) sampai pasuruan (Jatim).
Setelah Sutawijaya mangkat, tahta kerajaan diserahkan oleh putranya, Mas Jolang, lalu cucunya Mas Rangsang atau Sultan Agung. Pada masa pemerintahan Sultan Agung, muncul kembali para bupati yang memberontak, seperti Bupati Pati, Lasem, Tuban, Surabaya, Madura, Blora, Madiun, dan Bojonegoro. Untuk menundukkan pemberontak itu, Sultan Agung mempersiapkan sejumlah besar pasukan, persenjataan, dan armada laut serta penggemblengan fisik dan mental. Usaha Sultan Agung akhirnya berhasil pada tahun 1625 M. Kerajaan Mataram berhasil menguasai seluruh Jawa, kecuali Banten, Batavia, Cirebon, dan Blambangan. Untuk menguasai seluruh Jawa, Sultan Agung mencoba merebut Batavia dari tangan Belanda. Namun usaha Sultan mengalami kegagalan.
c. Aspek Kehidupan Sosial
Kehidupan masyarakat di kerajaan Mataram, tertata dengan baik berdasarkan hukum Islam tanpa meninggalkan norma-norma lama begitu saja. Dalam pemerintahan Kerajaan Mataram Islam, Raja merupakan pemegang kekuasaan tertinggi, kemudian diikuti oleh sejumlah pejabat kerajaan. Di bidang keagamaan terdapat penghulu, khotib, naid, dan surantana yang bertugas memimpin upacara-upacara keagamaan. Di bidang pengadilan, dalam istana terdapat jabatan jaksa yang bertugas menjalankan pengadilan istana. Untuk menciptakan ketertiban di seluruh kerajaan, diciptakan peraturan yang dinamakan anger-anger yang harus dipatuhi oleh seluruh penduduk.

d. Aspek Kehidupan Ekonomi dan Kebudayaan
Kerajaan Mataram adalah kelanjutan dari Kerajaan Demak dan Pajang. Kerajaan ini menggantungkan kehidupan ekonominya dari sektor agraris. Hal ini karena letaknya yang berada di pedalaman. Akan tetapi, Mataram juga memiliki daerah kekuasan di daerah pesisir utara Jawa yang mayoritas sebagai pelaut. Daerah pesisir inilah yang berperan penting bagi arus perdagangan Kerajaan Mataram.
Kebudayaan yang berkembang pesat pada masa Kerajaan Mataram berupa seni tari, pahat, suara, dan sastra. Bentuk kebudayaan yang berkembang adalah Upacara Kejawen yang merupakan akulturasi antara kebudayaan Hindu-Budha dengan Islam.
Di samping itu, perkembangan di bidang kesusastraan memunculkan karya sastra yang cukup terkenal, yaitu Kitab Sastra Gending yang merupakan perpaduan dari hukum Islam dengan adat istiadat Jawa yang disebut Hukum Surya Alam.
e. Kemunduran Mataram Islam
Kemunduran Mataram Islam berawal saat kekalahan Sultan Agung merebut Batavia dan menguasai seluruh Jawa dari Belanda. Setelah kekalahan itu, kehidupan ekonomi rakyat tidak terurus karena sebagian rakyat dikerahkan untuk berperang.



5. Kerajaan Makassar
a. Awal Perkembangan Kerajaan Makassar
Di Sulawesi Selatan pada awal abad ke-16 terdapat banyak kerajaan, tetapi yang terkenal adalah Gowa, Tallo, bone, Wajo, Soppeng, dan Luwu. Berkat dakwah dari Datuk ri Bandang dan Sulaeman dari Minangkabau, akhirnya Raja Gowa dan Tallo masuk Islam (1605) dan rakyat pun segera mengikutinya.
Kerajaan Gowa dan Tallo akhirnya dapat menguasai kerajaan lainnya. Dua kerajaan itu lazim disebut Kerajaan Makassar. Dari Makasar, agama Islam menyebar ke berbagai daerah sampai ke Kalimantan Timur, Nusa Tenggara Barat, dan Nusa Tenggara Timur. Makassar merupakan salah satu kerajaan Islam yang ramai akan pelabuhannya. Hal ini, karena letaknya di tengah-tengah antara Maluku, Jawa, Kalimantan, Sumatera, dan Malaka.
b. Aspek Kehidupan Politik dan Pemerintahan
Kerajaan Makassar mula-mula diperintah oleh Sultan Alauddin (1591-1639 M). Raja berikutnya adalah Muhammad Said (1639-1653 M) dan dilanjutan oleh putranya, Hasanuddin (1654-1660 M). Sultan Hasanuddin berhasil memperluas daerah kekuasaannya dengan menundukkan kerajaan-kerajaan kecil di Sulawesi Selatan, termasuk Kerajaan Bone. VOC setelah mengetahui Pelabuhan Makassar, yaitu Sombaopu cukup ramai dan banyak menghasilkan beras, mulai mengirimkan utusan untuk membuka hubungan dagang. Setelah sering datang ke Makassar, VOC mulai membujuk Sultan Hasanuddin untuk bersama-sama menyerbu Banda (pusat rempah-rempah). Namun, bujukan VOC itu ditolak.

Setelah peristiwa itu, antara Makassar dan VOC mulai terjadi konflik. Terlebih lagi setelah insiden penipuan tahun 1616. Pada saat itu para pembesar Makassar diundang untuk suatu perjamuan di atas kapal VOC, tetapi nyatanya malahan dilucuti dan terjadilah perkelahian yang menimbulkan banyak korban di pihak Makassar. Keadaan meruncing sehingga pecah perang terbuka. Dalam peperangan tersebut, VOC sering mengalami kesulitan dalam menundukkan Makassar. Oleh karena itu, VOC memperalat Aru Palakka (Raja Bone) yang ingin lepas dari kerajaan Makassar dan menjadi kerajaan merdeka.
c. Aspek Kehidupan Ekonomi, Sosial, dan Kebudayaan
Kerajaan Makassar berkembang menjadi kerajaan maritim. Hasil perekonomian terutama diperoleh dari hasil pelayaran dan perdagangan. Pelabuhan Sombaupu ( Makassar ) banyak didatangi kapal-kapal dagang sehingga menjadi pelabuhan transit yang sangat ramai. Dengan demikian, masyarakatnya hidup aman dan makmur.
Dalam menjalankan pemerintahannya, Raja dibantu oleh Bate Salapanga (Majelis Sembilan) yang diawasi oleh seorang paccalaya (hakim). Sesudah sultan, jabatan tertinggi dibawahnya adalah pabbicarabutta (mangkubumi) yang dibantu oleh tumailang matoa dan malolo. Panglima tertinggi disebut anrong guru lompona tumakjannangan. Bendahara kerajaan disebut opu bali raten yang juga bertugas mengurus perdagangan dan hubungan luar negeri. Pejabat bidang keagamaan dijabat oleh kadhi yang dibantu imam, khatib, dan bilal. Hasil kebudayaan yang cukup menonjol dari Kerajaan Makassar adalah keahlian masyarakatnya membuat perahu layar yang disebut pinisi dan lambo.
d. Kemunduran Kerajaan Makassar
Kemunduran Kerajaan Makassar disebabkan karena permusuhannya dengan VOC yang berlangsung sangat lama. Ditambah dengan taktik VOC yang memperalat Aru Palakka ( Raja Bone) untuk mengalahkan Makassar. Kebetulan saat itu Kerajaan Makassar sedang bermusuhan dengan Kerajaan Bone sehingga Raja Bone setuju bekerja sama dengan VOC.



6. Kerajaan Ternate
a. Awal Perkembangan Kerajaan Ternate
Pada abad ke-13 di Maluku sudah berdiri Kerajaan Ternate. Ibu kota Kerajaan Ternate terletak di Sampalu (Pulau Ternate). Selain Kerajaan Ternate, di Maluku juga telah berdiri kerajaan lain, seperti Jaelolo, Tidore, Bacan, dan Obi. Di antara kerajaan di Maluku, Kerajaan Ternate yang paling maju. Kerajaan Ternate banyak dikunjungi oleh pedagang, baik dari Nusantara maupun pedagang asing.
b. Aspek Kehidupan Politik dan Pemerintahan
Raja Ternate yang pertama adalah Sultan Marhum (1465-1495 M). Raja berikutnya adalah putranya, Zainal Abidin. Pada masa pemerintahannya, Zainal Abidin giat menyebarkan agama Islam ke pulau-pulau di sekitarnya, bahkan sampai ke Filiphina Selatan. Zainal Abidin memerintah hingga tahun 1500 M. Setelah mangkat, pemerintahan di Ternate berturut-turut dipegang oleh Sultan Sirullah, Sultan Hairun, dan Sultan Baabullah. Pada masa pemerintahan Sultan Baabullah, Kerajaan Ternate mengalami puncak kejayaannya. Wilayah kerajaan Ternate meliputi Mindanao, seluruh kepulauan di Maluku, Papua, dan Timor. Bersamaan dengan itu, agama Islam juga tersebar sangat luas.
c. Aspek Kehidupan Ekonomi, Sosial, dan Kebudayaan
Perdagangan dan pelayaran mengalami perkembangan yang pesat sehingga pada abad ke-15 telah menjadi kerajaan penting di Maluku. Para pedagang asing datang ke Ternate menjual barang perhiasan, pakaian, dan beras untuk ditukarkan dengan rempah-rempah. Ramainya perdagangan memberikan keuntungan besar bagi perkembangan Kerajaan Ternate sehingga dapat membangun laut yang cukup kuat.
Sebagai kerajaan yang bercorak Islam, masyarakat Ternate dalam kehidupan sehari-harinya banyak menggunakan hukum Islam . Hal itu dapat dilihat pada saat Sultan Hairun dari Ternate dengan De Mesquita dari Portugis melakukan perdamaian dengan mengangkat sumpah dibawah kitab suci Al-Qur’an. Hasil kebudayaan yang cukup menonjol dari kerajaan Ternate adalah keahlian masyarakatnya membuat kapal, seperti kapal kora-kora.
d. Kemunduran Kerajaan Ternate
Kemunduran Kerajaan Ternate disebabkan karena diadu domba dengan Kerajaan Tidore yang dilakukan oleh bangsa asing ( Portugis dan Spanyol ) yang bertujuan untuk memonopoli daerah penghasil rempah-rempah tersebut. Setelah Sultan Ternate dan Sultan Tidore sadar bahwa mereka telah diadu domba oleh Portugis dan Spanyol, mereka kemudian bersatu dan berhasil mengusir Portugis dan Spanyol ke luar Kepulauan Maluku. Namun kemenangan tersebut tidak bertahan lama sebab VOC yang dibentuk Belanda untuk menguasai perdagangan rempah-rempah di Maluku berhasil menaklukkan Ternate dengan strategi dan tata kerja yang teratur, rapi dan terkontrol dalam bentuk organisasi yang kuat.



7. Kerajaan Tidore
a. Awal Perkembangan Kerajaan Tidore
Kerajaan tidore terletak di sebelah selatan Ternate. Menurut silsilah raja-raja Ternate dan Tidore, Raja Ternate pertama adalah Muhammad Naqal yang naik tahta pada tahun 1081 M. Baru pada tahun 1471 M, agama Islam masuk di kerajaan Tidore yang dibawa oleh Ciriliyah, Raja Tidore yang kesembilan. Ciriliyah atau Sultan Jamaluddin bersedia masuk Islam berkat dakwah Syekh Mansur dari Arab.
b. Aspek Kehidupan Politik dan Kebudayaan
Raja Tidore mencapai puncak kejayaan pada masa pemerintahan Sultan Nuku (1780-1805 M). Sultan Nuku dapat menyatukan Ternate dan Tidore untuk bersama-sama melawan Belanda yang dibantu Inggris. Belanda kalah serta terusir dari Tidore dan Ternate. Sementara itu, Inggris tidak mendapat apa-apa kecuali hubungan dagang biasa. Sultan Nuku memang cerdik, berani, ulet, dan waspada. Sejak saat itu, Tidore dan Ternate tidak diganggu, baik oleh Portugis, Spanyol, Belanda maupun Inggris sehingga kemakmuran rakyatnya terus meningkat. Wilayah kekuasaan Tidore cukup luas, meliputi Pulau Seram, Makean Halmahera, Pulau Raja Ampat, Kai, dan Papua. Pengganti Sultan Nuku adalah adiknya, Zainal Abidin. Ia juga giat menentang Belanda yang berniat menjajah kembali.
c. Aspek Kehidupan Ekonomi dan Sosial
Sebagai kerajaan yang bercorak Islam, masyarakat Tidore dalam kehidupan sehari-harinya banyak menggunakan hukum Islam . Hal itu dapat dilihat pada saat Sultan Nuku dari Tidore dengan De Mesquita dari Portugis melakukan perdamaian dengan mengangkat sumpah dibawah kitab suci Al-Qur’an. Kerajaan Tidore terkenal dengan rempah-rempahnya, seperti di daerah Maluku. Sebagai penghasil rempah-rempah, kerajaan Tidore banyak didatangi oleh Bangsa-bangsa Eropa. Bangsa Eropa yang datang ke Maluku, antara lain Portugis, Spanyol, dan Belanda.
d. Kemunduran Kerajaan Tidore
Kemunduran Kerajaan Tidore disebabkan karena diadu domba dengan Kerajaan Ternate yang dilakukan oleh bangsa asing ( Spanyol dan Portugis ) yang bertujuan untuk memonopoli daerah penghasil rempah-rempah tersebut. Setelah Sultan Tidore dan Sultan Ternate sadar bahwa mereka telah diadu domba oleh Portugis dan Spanyol, mereka kemudian bersatu dan berhasil mengusir Portugis dan Spanyol ke luar Kepulauan Maluku. Namun kemenangan tersebut tidak bertahan lama sebab VOC yang dibentuk Belanda untuk menguasai perdagangan rempah-rempah di Maluku berhasil menaklukkan Ternate dengan strategi dan tata kerja yang teratur, rapi dan terkontrol dalam bentuk organisasi yang kuat.


B. Sejarah dan Peran Pondok Pesantren
Sejarah pendidikan agama Islam yang independent, kemudian populer dengan jargon “Pesantren” sebenarnya merupakan sejarah tipologi Institusi Pendidikan Islam yang usianya sudah mencapai ratusan tahun, para ahli sejarah mencatat bahwa eksistensi pondok pesantren telah lahir jauh sebelum Republik Indonesia dibentuk. Hampir di seluruh penjuru Nusantara, terutama di pusat-pusat Kerajaan Islam telah banyak para ulama yang mendirikan pondok pesantren dan menelorkan ratusan bahkan ribuan alumni yang mumpuni di medan perjuangan masyarakat beragama.
Sebagai Lembaga Pendidikan Islam pertama yang mendukung keberlangsungan pendidikan Nasional, Pesantren tidak hanya berkembang sebagai Lembaga yang isinya cuma ngaji dan menelaah kitab salaf melulu, sekaligus juga berperan penting bagi keberlangsungan komunitas yang mempertahankan tradisional sebagai wajah bagi keaslian budaya Indonesia, disamping Lembaganya yang bercorak pribumi (indegenous), pesantren juga mampu merekonstruksi budaya kemarut yang kian menghantam jantung ideology masyarakat Indonesia. Maka dalam Sejarahnya, perkembangan pesantren telah memainkan peran sekaligus kontribusi penting dalam pembangunan Indonesia. Sebelum Kolonial Belanda masuk ke Nusantara, pesantren tidak hanya berperan sebagai Lembaga Pendidikan yang berfungsi menyebarkan ajaran Islam sekaligus juga mengadakan perubahan-perubahan tertentu menuju keadaan masyarakat yang lebih baik (progresif). Sebagaimana tercermin dalam berbagai pengaruh pesantren bagi kelancaran kegiatan politik para raja dan pangeran di-Jawa, kegiatan perdagangan dan pembukaan pemukiman daerah baru. Di saat Penjajah Belanda menduduki Kerajaan-Kerajaan di Nusantara, pesantren malah menjelma sebagai pusat perlawanan dan pertahanan terhadap Kolonial Belanda, Inggris, dan Jepang. Bahkan, pasca kemerdekaan tahun 1959-1965, pesantren masih dikategorikan sebagai ‘Alat Revolusi’ dan ‘Bahan Peledak’ yang mampu menghancurkan kelancaran politik yang stagnan. Dan saat memasuki orde baru, pesantren dipandang sebagai ‘potensi pembangunan’ negara bagi masyarakat Indonesia.
Geneologi ideology pesantren dapat dirujuk kepada tumbuh kembangnya pesantren yang cukup panjang. Sebagai salah satu wujud entitas budaya, Pesantren ternyata mampu survive mempertahankan diri ditengah kehidupan masyarakat modern dan kebangsaan global sepanjang jaman. Awalnya, pesantren tumbuh sebagai simbol perlawanan terhadap agama dan kepercayaan poliestik, khurafat dan takhayul. Kehadiran Pesantren di tanah air selalu diawali dengan perang nilai antara “nilai putih” yang dibawa Pesantren dengan “nilai hitam” yang telah mengakar kuat dalam tradisi masyarakat Jawa. Sehingga pertarungan tersebut selalu dimenangkan pihak pesantren sekalipun sinkretisasi antara kejawen dan ajaran Islam sulit dibantahkan.
Kapan dan dimana model pesantren pertama kali didirikan masih terjadi perbedaan. Ada yang mengatakan bahwa pesantren sudah ada sejak abad ke-16 M yang ditandai dengan munculnya karya-karya Jawa klasik, seperti Serat Cabolek dan Serat Centini, sejak abad ke-16 M. di Indonesia telah banyak dijumpai Lembaga-Lembaga yang mengajarkan pelbagai kitab Islam klasik dan disiplin ilmu pengetahuan Islam seperti Fiqh, Aqidah, Tasawuf, dan variable ilmu Islam yang universal. Di samping itu, ada pula yang mengatakan bahwa sistem pendidikan pesantren tak lain dan tak bukan adalah “jiplakan” dari sistem pendidikan Hindu-Budha pada abad ke-18 M. Dengan demikian, sejak abad ke 19-20, model pendidikan pesantren mulai banyak mengalami perubahan diberbagai segi sosial sebagai konsekuensi logis dari “muncratnya trend jaman” akibat terpengaruh globalisasi. Bahkan, tidak sedikit akhir-akhir ini dari Lembaga-Lembaga Pesantren yang mulai menerjuni dunia pendidikan sebagai alternative pembangunan bangsa kearah yang lebih baik .
Tidak sedikit kontribusi yang diberikan Pesantren dalam pembangunan nation-state selama ini. Tengoklah pada masa penjajahan, Pesantren telah memainkan perlawanan dan mengambil posisi uzlah sebagai bentuk perlawanan sekaligus pertahanan dari para penjajah. Sebab dari uzlah inilah sebuah pesantren mampu mendapatkan stereotip dari Pemerintah Kolonial yang pada waktu itu dikonotasikan sebagai Lembaga Pendidikan yang semrawut, sehingga banyak orang yang tidak tahu secara jelas sampai mana batas-batas Lembaga Pendidikan Pesantren apakah sebagai Lembaga Sosial, ataukah Lembaga Penyiaran Agama. Banyak para Kyai yang kedudukannya juga ikut-ikut tidak jelas apakah peran mereka sebagai guru, pemimpin spiritual, penyiar agama ataukah sebagai pekerja social, sehingga masih banyak Lembaga Pesantren yang hingga detik ini tidak mendapat stigmatisasi pendidikan, sistem evaluasi, metode pengajaran, dan sebagainya.
Karena anggapan miris Pemerintah Kolonial pada waktu itu, maka Pesantren lebih memprioritaskan diri untuk pengajaran fiqh-sufistik daripada hal-hal yang berkaitan langsung dengan masalah keduniawian. Tentu saja prioritas ini menimbulkan kerugian sekaligus keuntungan. Keuntungannya, pesantren menjelma menjadi Lembaga Pendidikan yang berhasil mengembangkan pertahanan mental spiritualitas, solidaritas, dan kesederhanaan hidup yang kokoh. Namun di sisi lain, kerugian yang harus ditanggung pesantren ialah, pesantren seakan-akan telah terlepas dari kehidupan nyata, tidak membumi, terlalu melangit ke akhirat serta kurang mengapresiasi diri bahkan melupakan kehidupan duniawi.
Pada masa pergerakan dan persiapan kemerdekaan saja, pesantren berperan sebagai pusat perjuangan / gerilyawan seperti Hizbullah dan Sabilillah. Pada masa-masa awal pembentukan Tentara Nasional Indonesia khususnya Angkatan Darat, banyak berasal dari santri dan sedikitnya diwarnai oleh kultur santri. Banyak dari para Kyai dan pengasuh pesantren menjadi pemimpin diplomasi yang cukup piawai untuk menegakkan kemerdekaan Indonesia melalui penyusunan dasar-dasar institusi negara. Meski saat itu, Lembaga Pendidikan Pesantren masih menjadi Lembaga Pendidikan Agama yang bercorak fiqh-gnostik dan klinik sosial-keagaman masyarakat.
Pada abad ke-20, pesantren mampu mereposisi diri kearah sistem pendidikan yang berorientasi ke arah masa depan dengan tanpa menghilangkan tradisi-tradisi yang baik, dengan berpedoman kepada prinsip “al-muhafadzah alâ al-qadîm ash-shalih wa al-akhd bî al-jadîd al-ashlah”. Sejak tahun 1970-an, Pesantren mulai mengidentifikasi kelemahan dan kekurangan dengan berusaha mengadaptasi dan mengakomodasi perubahan-perubahan khususnya di bidang pendidikan, perubahan pendidikan khususnya masalah pendidikan meliputi orientasi pendidikan serta aspek-aspek administrasinya, diferensiasi struktural dan ekspansi kapasitas bahkan transformasi kelulusan yang berkenaan dengan nilai, sikap, dan perilakunya. Pondok Pesantren Lirboyo yang terletak di kawasan Kota Kediri saja pada abad ke-20, mulai mengajarkan pendidikan ketrampilan di pelbagai bidang. Seperti menjahit, pertukangan, perbengkelan, peternakan, dan sebagainya. Pendidikan ketrampilan ini diberikan dengan tujuan supaya civitas pesantren memiliki wawasan keduniawian sesuai profesi yang diinginkan melalui pendidikan ketrampilan, santri tidak hanya fasih dalam  hal-hal yang bersifat karitas atau charitable, tetapi juga professional menghadapi hal-hal yang bersifat sekuler, pragmatis, dan kalkulatif.
Dengan demikian, para sejarawan akhirnya berhasil menyimpulkan bahwa sejarah geneologi sistem pendidikan ala pesantren sebenarnya dapat ditelusuri dari era sebelum masuknya Agama Islam. Istilah pesantren yang berawal dari surau Sunan Ampel dianggap oleh sebagian ahli sejarah sebagai tonggak eksistensi awal munculnya bendera Lembaga Pendidikan Pesantren dalam rangka mentransfomasikan keilmuan dan kebangkitan Islam di Indonesia. Berawal dari tempat inilah, Pesantren menjelma sebagai Lembaga Pendidikan rakyat yang berorientasi mencetak agen-agen perubahan dan pembangunan masyarakat.


C. Pesantren sebagai Benteng Aswaja
Di samping sistem pendidikannya yang amat sederhana, di dalamnya juga terdapat interaksi sosial antara Kyai atau ustadz yang berperan penting sebagai guru bagi para santri dan telah menjadikan standar pendidikan yang cukup efektif bagi keberlangsungan sumber daya manusia. Kyai, sebagai top leader (uswah) yang menjadi pemimpin tunggal, aktif mengatur langsung komunitas yang diembannya, mulai urusan para tamu, santri baru, penentuan kitab-kitab kajian hingga berbagai aktifitas yang dijalankan dalam tubuh Pesantren. Bertambah banyaknya santri, biasanya menjadikan Kyai menunjuk santri seniornya menjadi Lurah Pondok. Melalui Lurah inilah, semua urusan Kyai didelegasikan. Sejarah metodologi pendidikan salaf semacam ini tak ayal menempatkan Pesantren sebagai “kerajaan-kerajaan kecil” (muluk al-thawaif, emiret), dimana antara satu Pesantren dengan yang lain memiliki aturan dan aktifitas yang berbeda.
Kini, seiring dengan perkembangan waktu, Lembaga yang sering disebut-sebut “tradisional” itu, memasuki era globalisasi dan milenium ketiga dan mendapat sorotan cukup tajam. Masalahnya, meski dikatakan tradisional, toh kenyataannya, Pesantren sampai sekarang masih tetap eksis, bahkan mendapat simpati dan animo masyarakat luas. Terlebih lagi dalam merespon krisis berkepanjangan di Indonesia. Karenanya, topik sejarah berdirinya Pondok Pesantren Lirboyo, pelestarian dan penerapannya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara di tinjau dari berbagai manfaat guna dijadikan sebagai suri tauladan umat.
Hal ini tak lain karena “omongan” para ahli sejarah yang memprediksikan bahwa keberadaan Pesantren di Indonesia merupakan benteng pertahanan terakhir bagi spiritualitas Negara Kesatuan Repuplik Indonesia maupun Umat Islam di negeri ini. Harus di akui bahwa sejarah berdirinya republik ini tak lepas dari jasa para ulama alumnus pesantren, begitu pula dengan lenyapnya komunitas serta gerakan pengacau Republik Indonesia. Bagi umat Islam, melalui Pesantrenlah mereka berharap kontinuitas estafet dakwah Islam terus dilanjutkan. Hilangnya Pesantren, berarti lenyapnya para ulama (agamawan) serta orang-orang shalih. Kalau sudah demikian, maka tinggal tunggu kehancuran keindahan spiritual agama tersebut. Sungguhpun saat ini telah menjamur institusi pendidikan formal yang berlabelkan Islam, akan tetapi out-put Lembaga mereka nyata-nyatanya tidak mampu menelorkan para ulama yang menjadi pewaris para Nabi.
Apalagi jika menengok sejarah penanaman nilai-nilai moral dan metodologi pendidikan salaf bernafas religius seperti yang diterapkan Pondok Pesantren Lirboyo sampai saat ini ternyata mampu membuktikan dirinya mempertahankan anak bangsa dari erosi akhlaq dan dekadensi moral. Pembentukan jati diri manusia yang ber-akhlakul karimah hingga terwujudnya insan paripurna merupakan salah satu misi Lembaga-Lembaga Pesantren Salaf di Indonesia. Sikap Kyai yang tulus, ikhlas, sabar. Tawakal (berserah diri), tawadlu’ (hormat), jujur serta independensi merupakan dinamika energy power bagi nilai-nilai luhur Bangsa dan Negara. Manusia-manusia tipe mereka saat ini sungguh langka ditemukan. Padahal hanya dengan jiwa yang terpatri pada nilai-nilai mulia itulah Bangsa Indonesia bisa terselamatkan dari dekadensi moral serta penyakit-penyakit lain yang akan menyeret Bangsa ke dalam kondisi “krisis” berkepanjangan, tidak mustahil jika nantinya terjadi big bang kehancuran bagi umat manusia.
Sejarah independensi Pesantren dari generasi ke generasi telah membuktikan betapa kokohnya Lembaga-Lembaga ini dalam memikul beban meneruskan perjuangan Nabi dan Rasul. Di tambah, dengan sejarah keberadaan Pesantren sebagai Lembaga Pendidikan Islam tidak hanya berperan atas unsur politik dan ekonomi, tapi lebih dari itu, ia hadir sebagai bentuk tingginya animo masyarakat atas keilmuan para ulama salaf. Sejak era Kolonial sampai Kemerdekaan, keberadaan Pesantren yang berdiri baik di wilayah pedesaan atau pinggiran. Demografis serta doktrin jihad yang diterapkan, menjadikan Pesantren tidak hanya sebagai pusat pendidikan rakyat tetapi telah menjadi simbol kebudayaan Bangsa Indonesia itu sendiri.


D. Nilai - Nilai Pesantren
Harus diakui bahwa pada dasarnya, Pesantren dibangun atas dasar keinginan bersama dua komunitas yang saling bertemu. Komunitas santri yang ingin menimba ilmu sebagi bekal hidup dan kyia/guru yang secara ihklas ingin mengajarkan ilmu dan pengalamannya. Relasi simbiosis mutualisme ini saling melangkapi, santri dan Kyai merupakan dua entitas yang memiliki kesamaan kesadaran dan bersama-sama membangun komunitas keagamaan yang kemudian disebut Pesantren. Kyai, ustadz, dan santri hidup dalam satu keluarga besar berlandaskan nilai-nliai Agama Islam yang dilengkapi dengan norma-norma.
Komunitas keagamaan Pesantren berlandaskan oleh keinginan tafaqquh fî ad-dîn (mendalami ajaran Agama), dengan kaidah yang menjadi soko gurunya, al-muhafadzah alâ al-qadîm ash-shalih wa al-akhd bî al-jadîd al-ashlah (memelihara tradisi lama yang baik dan mengambil tradisi baru yang lebih baik). Keinginan dan kaidah ini merupakan nilai pokok yang melandasi kehidupan dunia pesantren. Suatu bentuk falsafah yang cukup sederhana, tetapi mampu mentransformasikan potensi dan menjadikan diri Pesantren sebagai agent of change bagi masyarakat. Sehingga, eksistensi Pesantren identik dengan Lembaga pemberdayaan serta pengembangan masyarakat.
Selain kedua nilai diatas, eksistensi pesantren menjadi kokoh karena dijiwai oleh panca-jiwa, Seperti  jiwa keihlasan yang tidak pernah didorong oleh ambisi apapun untuk memperoleh keuntungan tertentu, khsusnya material, melainkan karena semata-mata karena beribadah kepada Allah. Jiwa keikhlasan memanifestasikan dalam segala rangkaian sikap dan perilaku serta tindakan yang dilakukan secara ritual oleh komunitas pesantren. Jiwa kiekhlasan ini dilandasi oleh keyaqinan bahwa perbuatan baik pasti diganjar oleh Allah dengan sesuatu yang tak bisa dilukiskan oleh akal.
Selain itu dalam budaya Pesantren salaf juga telah terpatri jiwa kesederhanaan, kata’sederhana’ disini bukan berarti pasif, melarat, miskin, dan menerima apa adnya, akan tetapi lebih dari itu mengandung unsur kekuatan dan ketabahan hati, kemampuan mengendalikan diri dan kecakapan menguasai diri dalam menghadapi kesulitan. Dibalik jiwa kesederhanaan ini tersimpan jiwa yang besar, berani, maju, dan pantang menyerah dalam menghadapi dinamika sosial secara kompetitif. Jiwa kesederhanaan ini menjadi ‘baju’ identitas yang paling berharga bagi civitas santri dan Kyai. Apalagi dengan adanya jiwa kemandirian yang peranannya mampu mengurusai persoalan-persoalan internal pesantren, namun kesanggupan membentuk Pesantren sebagai institusi pendidikan Islam yang independen, tidak menggantungkan diri kepada bantuan dan pamrih pihak lain. Pesantren dibangun diatas pondasi kekuatan sendiri sehingga banyak dari mereka yang benar benar menjadi merdeka, otonom dan mandiri di dalam budaya Pesantren salaf, biasanya ada jiwa kebebasan dalam mengandalkan civitas Pesantren sebagai manusia yang kokoh dalam memilih jalan hidup dan masa depannya, hanya dengan jiwa besar dan sikap optimis inilah maka dalam lembaran sejarahnya, Pesantren mampu mengahadapi segala problematika kehidupan umat manusia dengan dilandasi nilai-nilai Islam. Kebebasan ini juga berarti sikap kemandirian yang tidak berkenan didikte oleh pihak luar dalam membangun orientasi kepesantrenan dan kependidikan. Sehingga muncullah jiwa jiwa lain seperti ukhuwwah Islamiyyah, jiwa ini memanifesatasi dalam keseharian civitas Pesantren yang bersifat dialogis, penuh keakraban, penuh kompromi, dan toleransi. Jiwa ini mematri suasana sejuk, damai, saling membantu, senasib dan saling mengharagai bahkan saling mensupport dalam pembentukan dan pengembangan idealisme santri.  Semua itu menjadikan Pesantren tetap “bernilai” dan mampu eksis sepanjang sejarah kehidupan dan dinamika jaman. Globalisasi teknologi industry yang massif dan mendunia tidak menggoyahkan eksistensi Pesantren sebagai penjaga sekaligus pelestari nilai-nilai luhur. Dikarenakan Pesantren hanya tergantung terhadap kebenaran mutlak (tuhan) yang diaktualisasi dalam fiqh-sufistik yang berorientasi kepada amalan ukhrawiy, maka kebenaran didalamnya relative bersifat empiris pragmatis dalam memecahkan beragam persoalan kehidupan sesuai dengan hukum agama. Semua aktivitas Pesantren selalu mengacu kepada keseimbangan antara ukhrawiy dan duniawi. Keimanan civitas Pesantren senantiasa memanifestasikan setiap perilaku, sikap dan tindakan sehari-hari. Karena itulah, identitas Kyai dan santri menjadi sesuatu yang layak diteladani bagi setiap pengembangan masayarakat secara utuh.
Nilai kemandirian yang menjadi pondasi eksistensial pesantren merupakan nilai utama paling signifikan bagi perubahan sosial dan budaya yang otonom. Dengan kemandiriannya, Pesantren telah mampu menjelma sebagai creative cultural makers dan figure sang kyai sangat penting dalam kehidupan bermasyrakat. Sehingga, profesi Kyai selain sebagai pengasuh Pondok juga sebagai tokoh masyarakat, mediator, dan pialang. Kenyatan semacam ini tentu saja disebabkan Kyai mempunyai integritas keilmuan tinggi yang mampu mempriteksi kesadaran masyarakatnya sehingga terbentuk komunitas keagamaan dan budaya kemandirian. Dengan kemandiriannya pula, Pesantren mampu terlepas dari jerat-jerat dependensi dan hegemoni pihak lain.


E. Pesantren, Institusi Pendidikan Yang Komprehensif
Rentang waktu yang kian panjang mengantarkan berbagai Pondok pesantren mengalami perubahan yang amat signifikan, baik di teropong dari metodologi pendidikan maupun mekanisme struktur pondok pesantren yang diterapkannya. Jika dahulu Pesantren hanya menggunakan sistem bandongan kini telah banyak menggunakan sistem modern. Jika dahulu banyak Pesantren yang masih bergelut dalam khazanah kutub as-salaf sebagai kurikulum pendidikan, kini telah banyak di antara pesantren (meskipun sebagian besar juga belum) yang memasukkan pelajaran umum sebagai kurikulum dalam metodologi pendidikannya, pembaharuan ini tentu saja dinilai sebagai eksistensi Pesantren dengan harapan bahwa kelak para alumninya mampu menggembleng masyarakat dengan berbagai kedisiplinan ilmu yang membumi. Meski di lain pihak, banyak pula sebagian pesantren yang masih memegang teguh corak stagnasi pendidikan salaf (konservatif dan cenderung eksklusif), dengan harapan mampu menjaga ke-orisinal-an substansi pendidikan pesantren seperti yang diinginkan para pendahulunya.
Pondok Pesantren Lirboyo yang berareal di Kawasan Kota Kediri merupakan satu diantara ribuan Pesantren yang hingga kini masih tetap percaya diri memegang teguh corak dinamisasi metodologi pendidikan salafnya. Fenomena ini bukan berarti Pondok Lirboyo antipati terhadap perkembangan modernisasi zaman, terbukti, meski masih memegang teguh corak pendidikan salaf, Pondok Lirboyo banyak mengadakan variable rekonstruksi kegiatan ekstrakulikuler berupa pendidkan bahasa Inggris, Komputer, jurnalistik dan berbagai macam dinamisasi modern yang marak di tengah masyarakat dunia. Wallahu A’lam.


F. Perkembangan Pendidikan Islam Pada Masa Belanda
Pada pertengahan abad 19 M. perkembangan lembaga pendidikan mencapai tingkat tinggi. Hal ini karena meningkatnya jumlah jama’ah haji ke Makkah yang mengakibatkan banyak orang yang ahli dalam bidang agama yang membuka lembaga pendidikan. Bahkan tahun 1882 M. menurut catatan terdapat 300 pesantren di Jawa dan Madura. Hal itu ditambah lagi banyaknya orang-orang Hadhramaut yang bermigrasi dan mencari penghidupan yang layak di Indonesia yang juga membuka wawasan baru.
Wawasan baru tersebut mengakibatkan sistem madrasah yang berkembang di Timur Tengah berkembang pula di Indonesia, baik isi dan materinya sama. Pada akhir abad 19 M. Belanda mendirikan sekolah-sekolah untuk tenaga kerja untuk kepentingan perusahaan Belanda. Pada awal abad 20 M. Belanda mulai memberikan pendidikan kepada masyarakat yang menggunakan sistem pendidikan Liberal. Namun, hanya diperuntukkan bagi bangsawan dan pegawai pemerintah. Sehingga lembaga pendidikan agama tetap menjadi lembaga pendidikan yang bisa ditempati masyarakat pribumi.


G. Pendidikan Islam terhadap kebijakan pemerintah Belanda
Sebagaimana yang telah diketahui bahwa kedatangan penjajah Belanda di bumi Nusantara untuk mengemban fungsi ganda, yaitu melakukan penjajahan dan salibisasi. Oleh karena itu, semboyan yang terkenal dari penjajah Belanda adalah Glory (kemenangan atau kekuasaan), Gold (emas atau kekayaan bangsa Indonesia), dan Gospel (upaya sabilisasi terhadap umat Islam di Indonesia).
Dengan keterangan di atas dapat disimpulkan bahwa terhadap proses pertumbuhan dan perkembangan pendidikan Islam di Indonesia, penjajah Belanda cenderung merugikan umat Islam. Penjajah Belanda berusaha menghambat perkembangan pendidikan Islam, dengan terang-terangan membiayai misionaris Kristen.
Banyak sikap mereka yang merugikan lajunya perkembangan pendidikan Islam di Indonesia, misalnya:
1. Setiap sekolah atau madrasah/pesantren harus memliki ijin dari Bupati atau pejabat pemerintah Belanda.
2. Harus ada penjelasan dari sifat pendidikan yang sedang dijalankan secara terperinci.
3. Para guru harus membuat daftar murid dalam bentuk tertentu dan mengirimkannya secara periodic kepada daerah yang bersangkutan.
Pada dasarnya banyak kerugian yang diderita oleh umat Islam dalam persoalan pendidikan pada masa penjajahan Belanda. Bahkan, tidak sedikit sekolah yang terpaksa ditutup atau dipindahkah karena ulah penjajah Belanda terhadap bangsa Indonesia. Pada masa penjajahan Belanda ini, proses pendidikan Islam mengalami banyak tantangan dan hambatan, akan tetapi para tokoh Islam tetap giat dan gigih dalam memperjuangkannya.
Pada akhir abad 19 M. Belanda mendirikan sekolah-sekolah untuk tenaga kerja untuk kepentingan perusahaan Belanda. Pada awal abad 20 M. Belanda mulai memberikan pendidikan kepada masyarakat yang menggunakan sistem pendidikan Liberal, sebagaiamana dijelaskan di atas, sebagai tandingan dari perkembangan pesantren. Namun, hanya diperuntukkan bagi bangsawan dan pegawai pemerintah. Sehingga lembaga pendidikan agama tetap menjadi lembaga pendidikan yang bisa ditempati masyarakat pribumi.
Hal ini menjadi momentum awal bagi modernisasi pesantren. Apalagi pada awal abad ke- 20 M. para pembaharu Muslim, dalam rangka menjawab menjawab tantangan kolonialisme dan ekspansi Kristen, banyak mendirikan madrasah-madrasah modern yang secara terbatas mengadopsi sistem pendidikan Belanda. Karena itu pesantren mengadopsi tiga pembaharuan dalam sistem pendidikannya:
–          Dibukanya pesantren untuk santri putri yang ditandai oleh pesantren Denanyar Jombang
–          Diadopsinya sistem madrasah untuk santri tingkat lanjut, namun sistem ini tidak diadopsi untuk mengganti sistem tradisional yang telah ada, namun untuk menambah.
–          Diadopsinya beberapa mata pelajaran umum ke kurikulum pesantren. Pesantren Tebuireng Jombang dan Singasari Malang misalnya, mengajarkan bahasa Indonesia, bahasa Belanda, berhitung, ilmu bumi, dan lain-lain.
Pada tahun 1882 M. pemerintah Belanda mendirikan Priesterraden, lembaga yang mengawasi pendidikan dan kehidupan agama penduduk pribumi. Dari lembaga ini, pemerintah pada tahun 1905 mengeluarkan Goeroe Ordonantie yang mengatur siapa saja yang mengajar Islam harus minta izin pemerintah. Pada tahun 1925 M. dikeluarkan Goeroe Ordonantie baru, yaitu mengatur bahwa guru-guru agama cukup memberikan informasi tertulis kepada pemerintah. Namun pada masa ini tidak semua Kiai boleh memberikan pengajaran mengaji. Hal itu lebih dikarenakan adanya gerakan organisasi pendiidkan yang tumbuh pesat seperti Muhammadiyah, PSI, dan lain sebagainya. Pada tahun 1932 M. pemerintah mengeluarkan Wilde School Ordonantie yang mengawasi madrasah dan sekolah yang tidak memiliki izin dan mengajarkan materi yang dilarang oleh pemerintah dan lembaga yang seperti ini harus ditutup. Peraturan keluar setelah munculnya gerakan nasionalisme-islamisme yang dianggap akan merongrong kekuasaan Belanda.
Kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah Belanda telah banyak merugikan pendidikan Islam yang berkembang pada masa itu. Namun, para cendekiawan-cendekiawan muslim tidak kenal menyerah dan dengan gigih terus memperjuangkan pendidikan Islam, walaupun harus melalui berbagai hambatan, halangan, dan rintangan


H. Keadaan Pesantren Pada Zaman Penjajahan
Pemerintah kolonial khususnya Belanda, berusaha menekan dan mendiskreditkan pendidikan Islam yang dikelola oleh pribumi, tak terkecuali pondok pesantren. Penyelenggaraan pendidikan di pesantren menurut kolonial Belanda terlalu jelek dan tidak memungkinkan untuk menjadi sekolah-sekolah modern. Oleh karena itu, mereka mengambil alternatif kedua, yaitu mendirikan sekolah-sekolah sendiri yang tidak ada hubungannya dengan lembaga pendidikan yang telah ada.
Antara kedua sistem pendidikan tersebut terdapat perbedaan yang cukup mencolok, dan bahkan bisa dikatakan kontradiksi atau bertentangan. Perbedaan-perbedaan tersebut yaitu:
a.       Pendidikan yang diselenggarakan dan dibiayai oleh pemerintah belanda bersifat netral. Pendidikan diselenggarakan berdasarkan perbedaan kelompok elit yang bisa dipergunakan untuk mempertahankan politik dan ekonomi Belanda di negeri jajahannya.
b.      Pendidikan di madrasah dan pondok pesantren tidak  terlalu memikirkan bagaimana cara hidup harmonis di dunia, tetapi menekankan pada bagaimana memperoleh penghidupan.
Dengan didirikannya lembaga pendidikan atau sekolah yang diperuntukkan sebagian bangsa indonesia tersebut, semenjak itulah terjadi persaingan antara lembaga pendidikan pesantren dan lembaga pendidikan pemerintah. Persaingan yang terjadi tersebut bukan hanya dalam segi ideologis dan cita-cita pendidikan saja, melainkan juga dalam bentuk perlawanan politis dan bahkan fisik (peperangan). Perlawanan melawan pemerintah kolonoal Belanda pada abad ke-19 mendapatkan dukungan sepenuhnya dari pesantren. Perang-perang besar seperti Perang Diponegoro, Perang Paderi, Perang Banjar, sampai perlawanan-perlawanan rakyat yang bersifat lokal yang tersebar di mana-mana didukung sepenuhnya oleh tokoh-tokoh pesantren dan alumni-alumninya. Merekalah yang memegang peranan utama.
Pada tahun 1882 didirikan Priesterreden (Pengadilan Agama) oleh pemerintah kolonial. Tugas-tugasnya adalah mengadakan pengawasan terhadap pendidikan pesantren. Tidak lama setelah itu, dikeluarkan ordonasi tahun 1905 yang berisi ketentuan-ketentuan pengawasan terhadap perguruan yang hanya mengajarkan agama (pesantren) dan guru-guru agama yang akan mengajar harus mendapatkan izin dari pemerintah setempat.
Semenjak itulah muncul berbagai usaha pembaharuan dalam berbagai aspek kehidupan sosial, budaya dan peradaban umat Islam, termasuk usaha pembaharuan pendidikan Islam.
Pada garis besarnya, ide pembaharuan dalam bidang pendidikan yang berkembang di dunia Islam bisa digolongkan menjadi tiga kelompok, yaitu:
a.       Pembaharuan pendidikan Islam yang berorientasi pada pola pendidikan modern di barat, yakni mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi serta kebudayaan.
b.      Pola pembaharuan pendidikan Islam yang berorientasi pada pemurnian kembali ajaran Islam.
c.       Pola pembaharuan yang berorientasi pada kekuatan-kekuatan dan latar belakang historis atau pengembangan sumber daya nasional atau bangsa masing-masing.
Tampaknya, ketiga pandangan tersebut mempunyai pengaruh terhadap perkembangan dan pembaharuan dan sistem pendidikan Islam di Indonesia menjelang dan awal abad ke-20. Beberapa pesantren mulai memperkenalkan sistem madrasah, sebagaimana sistem yang berlaku di sekolah-sekolah umum, kendati pelajarannya masih ditekankan pada pelajaran agama saja. Pada perkembangan berikutnya, madrasah-madrasah mengajarkan dan mengembangkan ilmu pengetahuan umum.








BAB III
PENUTUP

1. Kesimpulan



2. Saran
Kami yakin dalam penulisan makalah ini banyak sekali kekurangannya. Untuk itu kami mohon kepada para pembaca agar dapat memberikan saran, kritikan, atau mungkin komentarnya demi kelancaran tugas ini dan untuk tugas selanjutnya agar bisa lebih baik.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar